Kamis, 10 Desember 2015

LINGUISTIK FUNGSIONAL SISTEMIK



LINGUISTIK FUNGSIONAL SISTEMIK

Teori linguistik fungsional, apapun sebutan yang ada, teori ini tidak bisa lepas dari seseorang yang bernama Michael Alexander Kirkwood Halliday (MAK Halliday) yang telah menemukan dan mengembangkan teori kebahasaan tersebut. Ia merupakan salah seorang murid dari Firth, seorang ahli bahasa yang mengembangkan aliran Firth, guru besar di Universitas London, dimana Halliday belajar.
Sebagai penerus Firth dalam bidang kemasyarakatan bahasa serta pada sebuah karangannya Categories of the Theory of Grammar, Halliday mengembangkan suatu teori linguistik, yang mula-mula dikenal sebagai Neo-Firthian Linguistics atau Scale and Categories Linguistics. Namun dikemudian waktu, muncul nama baru untuk teori ini, Systemics Linguistics (dalam bahasa Indonesia disebut Linguistik Sistemik). Karya besar pertamanya tentang masalah tata bahasa adalah "Kategori dari teori tata bahasa", yang diterbitkan dalam jurnal Firman pada tahun 1961 .
Dalam tulisan ini, ia berpendapat untuk empat "kategori fundamental" bagi teori tata bahasa: "Unit", "struktur", "kelas" dan "sistem". Kategori-kategori ini menurutnya adalah "dari urutan tertinggi abstraksi", tapi dibela seperti yang diperlukan untuk "memungkinkan account koheren tentang apa tata bahasa dan tempatnya dalam bahasa" Dalam mengartikulasikan unit 'kategori', Halliday mengusulkan gagasan tentang 'skala peringkat' a. Unit tata bahasa membentuk "hierarki", skala dari "terbesar" ke "terkecil" yang diusulkan sebagai: "kalimat", "klausul", "kelompok / frase", "kata" dan "morfem" .
Linguistik fungsional sistemik (SFL) adalah sebuah pendekatan untuk linguistik yang menganggap bahasa sebagai sistem semiotik sosial. Ini dikembangkan oleh Michael Halliday, yang mengambil gagasan sistem dari gurunya, JR Firth. Sedangkan Firth dianggap sistem untuk merujuk kemungkinan subordinasi struktur, Halliday dalam arti tertentu "dibebaskan" dimensi pilihan dari struktur dan membuat dimensi pokok berbagai teori ini. Dengan kata lain, sedangkan banyak pendekatan untuk linguistik struktur deskripsi tempat dan sumbu sintagmatik di latar depan, Hallidean teori fungsional sistemik mengadopsi sumbu paradigmatik sebagai titik tolak. Istilah sistemik sesuai foregrounds Saussure "poros paradigmatik" dalam memahami bagaimana bahasa bekerja. Untuk Halliday, prinsip teoritis sentral kemudian bahwa setiap tindakan komunikasi melibatkan pilihan. Bahasa adalah sistem, dan pilihan yang tersedia di setiap berbagai bahasa dipetakan menggunakan alat representasi dari "jaringan sistem". Michael Halliday, yang mendirikan linguistik fungsional sistemik.
Linguistik fungsional sistemik juga "fungsional" karena menganggap bahasa telah berevolusi di bawah tekanan fungsi tertentu bahwa sistem bahasa harus melayani. Oleh karena itu fungsi yang diambil telah meninggalkan jejak mereka pada struktur dan organisasi bahasa di semua tingkatan, yang dikatakan dicapai melalui metafunctions. Term metafunction ini khusus linguistik fungsional sistemik. Organisasi kerangka fungsional di sekitar sistem, yaitu, pilihan, perbedaan yang signifikan dari lainnya pendekatan "fungsional", seperti, misalnya, tata bahasa fungsional Dik ini (FG, atau seperti sekarang sering disebut, fungsional wacana tata bahasa) dan tata bahasa fungsional leksikal.

Sumber:
http://gurubahasaindonesiasmkn10mlg.blogspot.co.id/2015/01/linguistik-fungsional-sistemik-sfl.html

Selasa, 22 September 2015

Hakikat Semantik dan Relasi Makna


Hakikat Semantik

Kata semantik berasal dari bahasa Yunani sema yang artinya tanda atau lambang (sign). “Semantik” pertama kali digunakan oleh seorang filolog Perancis bernama Michel Breal pada tahun 1883. Kata semantik kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari tentang tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Oleh karena itu, kata semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu salah satu dari tiga tataran analisis bahasa: fonologi, gramatika, dan semantik (Chaer, 1994: 2).
Semantik merupakan istilah teknis yang mengacu pada studi tentang makna. Semantik dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Yunani ‘sema’ (kata benda) yang berarti ‘tanda’ atau ‘lambang’. Kata kerjanya adalah ‘semaino’ yang berarti ‘menandai’ atau ‘melambangkan’. Yang dimaksud tanda atau lambang disini adalah tanda-tanda linguistik (Perancis: signé linguistique).
Menurut Ferdinan de Saussure (1966), tanda lingustik terdiri dari :
1) Komponen yang menggantikan, yang berwujud bunyi bahasa.
2) Komponen yang diartikan atau makna dari komopnen pertama.

Kedua komponen ini adalah tanda atau lambang, dan sedangkan yang ditandai atau dilambangkan adalah sesuatu yang berada di luar bahasa, atau yang lazim disebut sebagai referent/ acuan / hal yang ditunjuk. Jadi, Ilmu Semantik adalah  ilmu yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Ilmu tentang makna atau arti. Pandangan yang bermacam-macam dari para ahli mejadikan para ahli memiliki perbedaan dalam mengartikan semantik. Pengertian semantik yang berbeda-beda tersebut justru diharapkan dapat mngembangkan disiplin ilmu linguistik yang amat luas cakupannya.
1.        Charles Morrist
Mengemukakan bahwa semantik menelaah “hubungan-hubungan tanda-tanda dengan objek-objek yang merupakan wadah penerapan tanda-tanda tersebut”
2.        J.W.M Verhaar; 1981:9
Mengemukakan bahwa semantik (inggris: semantics) berarti teori makna atau teori arti, yakni cabang sistematik bahasa yang menyelidiki makna atau arti. 
3.        Lehrer; 1974: 1
Semantik adalah studi tentang makna. Bagi Lehrer, semantik merupakan bidang kajian yang sangat luas, karena turut menyinggung aspek-aspek struktur dan fungsi bahasa sehingga dapat dihubungkan dengan psikologi, filsafat dan antropologi.
4.        Kambartel (dalam Bauerk, 1979: 195)
Semantik mengasumsikan bahwa bahasa terdiri dari struktur yang menampakan makna apabila dihubungkan dengan objek dalam pengalaman dunia manusia.
5.      Ensiklopedia britanika (Encyclopedia Britanica, vol.20, 1996: 313)
Semantik adalah studi tentang hubungan antara suatu pembeda linguistik dengan hubungan proses mental atau simbol dalam aktifitas bicara.
6.       Dr. Mansoer pateda
Semantik adalah subdisiplin linguistik yang membicarakan makna.


Relasi Makna

Relasi makna dapat berwujud macam-macam. Berikut ini diuraikan beberapa wujud relasi makna.
Sinonimi
Secara semantik Verhaar (1978) mendefinisikan sinonimi sebagai ungkapan (bisa berupa kata, frase, atau kalimat) yang maknanuya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain. Umpamanya kata buruk dan jelek adalah du buah kata yang bersinonim; bunga, kembang, dan puspa adalah tiga kata yang yang bersinonim. Hubungan makna antara dua buah kata yang bersinonim bersifat dua arah. Namun, dua buah kata yang bersinonim itu; kesamaannya tidak seratus persen, hanya kurang lebih saja. Kesamaannya tidak bersifat mutlak.

Antonimi dan Oposisi
Secara semantik Verhaar (1978) mendefenisikan antonimi sebagai: Ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi dapat pula dalam bentuk frase atau kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain. Misalnya kata bagus yang berantonimi dengan kata buruk; kata besar berantonimi dengan kata kecil.
Sama halnya dengan sinonim, antonim pun tidak bersifat mutlak. Itulah sebabnya dalam batasan di atas, Verhaar menyatakan ”…yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain” Jadi, hanya dianggap kebalikan. Bukan mutlak berlawanan.
Sehubungan dengan ini banyak pula yang menyebutnya oposisi makna. Dengan istilah oposisi, maka bisa tercakup dari konsep yang betul-betul berlawanan sampai kepada yang bersifat kontras saja. Kata hidup dan mati, mungkin bisa menjadi contoh yang berlawanan; tetapi hitam dan putih mungkin merupakan contoh yang hanya berkontras.

Homonimi, Homofoni, dan Homografi
Homonimi adalah ‘relasi makna antar kata yang ditulis sama atau dilafalkan sama, tetapi maknanya berbeda’. Kata-kata yang ditulis sama tetapi maknanya berbeda disebut homograf, sedangkan yang dilafalkan sama tetapi berbeda makna disebut homofon. Contoh homograf adalah kata tahu (makanan) yang berhomografi dengan kata tahu (paham), sedang kata masa (waktu) berhomofoni dengan massa (jumlah besar yang menjadi satu kesatuan).

Hiponimi dan Hipernimi
Hiponimi adalah ‘relasi makna yang berkaitan dengan peliputan makna spesifik dalam makna generis, seperti makna anggrek dalam makna bunga, makna kucing dalam makna binatang’. Anggrek, mawar, dan tulip berhiponimi dengan bunga, sedangkan kucing, kambing, dan kuda berhiponimi dengan binatang.  Bunga merupakan superordinat (hipernimi, hiperonim) bagi anggrek, mawar, dan tulip, sedangkan binatang menjadi superordinat bagi kucing, kambing, dan kuda.

Polisemi
Polisemi lazim diartikan sebagai satuan bahasa (terutama kata, bisa juga frase) yang memiliki makna lebih dari satu. Umpamanya kata kepala dalam bahasa Indonesia memiliki makna (1) bagian tubuh dari leher ke atas; (2) bagian dari suatu yang terletak disebelah atas atau depan merupakan hal yang penting atau terutama seperti pada kepala susu, kepala meja, dan kepala kereta api; (3) bagian dari suatu yang berbentuk bulat seperti kepala, seperti pada kepala paku dan kepala jarum; (4) pemimpin atau ketua seperti pada kepala sekolah, kepala kantor, dan kepala stasiun; (5) jiwa atau orang seperti dalam kalimat Setiap kepala menerima bantuan Rp 5000,-.; dan (6) akal budi seperti dalam kalimat, Badannya besar tetapi kepalanya kosong.

Ambiguitas
Ambiguitas atau ketaksaan sering diartikan sebagai kata yang bermakna ganda atau mendua arti. Kegandaan makna dalam ambiguitas berasal dari satuan gramatikal yang lebih besar, yaitu frase atau kalimat dan terjadi sebagai akibat penafsiran struktur gramatikal yang berbeda. Umpamanya frase buku sejarah baru dapat ditafsirkan sebagai (1) buku sejarah itu baru terbit, (2) buku itu berisi sejarah zaman baru.

Redundansi
Istilah redundansi sering diartikan sebagai ’berlebih-lebihan pemakaian unsur segmental dalam suatu bentuk ujaran’. Umpamanya kalimat Bola ditendang Si Badrih, maknanya tidak akan berubah bila dikatakan Bola ditendang oleh Si Badrih. Pemakaian kata oleh pada kalimat kedua dianggap sebagai sesuatu yang redundansi, yang berlebih-lebihan dan sebenarnya tidak perlu.

Senin, 21 September 2015

Hubungan Bahasa, Pikiran, dan Budaya

Berbahasa, berpikir, dan berbudaya saling berkaitan dan berintegrasi dalam kehidupan manusia. Berbahasa adalah menyampaikan pikiran atau perasaan mengenai sesuatu hal dalam kehidupan budayanya. Intinya, sebelum berbahasa terdapat proses berpikir dan dari proses berpikir itulah akan digunakan untuk berkomunikasi dalam kehidupan berbudaya.
 Berikut pendapat menurut para pakar:
Teori Wilhelm Von Humboldt
               Menurut Humboldt berpendapat bahwa pandangan hidup dan budaya suatu masyarakat ditentukan oleh bahasa masyarakat itu sendiri. Jadi, bahasa yang sudah ditetapkan oleh masyarakat tertentu akan menjadi sebuah pandangan hidup atau identitas suatu budaya masyarakat itu sendiri. Selain itu, Humboldt juga berpendapat bahwa bentuk luar merupakan bahasa yang bisa kita dengar misalnya kata yang terucap dari mulut, sedangkan dari dalam merupakan dari otak yaitu pikirannya kita.

Teori Sapir-Whorf
               Sependapat dengan Humboldt, Whorf berpendapat bahwa tidak ada dua buah bahasa yang sama, sehingga dapat dianggap mewakili masyarakat yang sama dan ia menolak adanya pandangan klasik mengenai hubungan bahasa dan berpikir bahwa bahasa berdiri sendiri. Jadi, dalam masyarakat tertentu hanya memiliki satu bahasa yang disepakati, dan Whorf berpandangan bahwa tanpa melalui proses berpikir, bahasa itu sudah berdiri sendiri.

Teori Jean Piaget
                  Berbeda dengan pendapat para ahli diatas, Piaget berpendapat bahwa bahasa terbentuk karena ada yang membentuk yaitu berupa proses berpikir. Tanpa proses berpikir, bahasa tidak akan pernah ada, sehingga proses kemunikasi dalam budaya tidak akan terwujud secara maksimal. Dalam hal ini berarti perilaku berbahasa yang sudah ada dalam pemikiran manusia itu sendiri bisa juga dianggap sebagai bahasa yang terdapat dari nurani manusia itu sendiri.

Teori L.S Vygotsky
                Vygotsky berpandangan bahwa pada awal mulanya bahasa dan pikiran tidak ada hubungan yang mengikat antar keduanya, tetapi seiring berjalannya waktu, manusia akan berpikir tentang bahasa, sehingga manusia akan berbahas dengan pikirannya.

Teori Noam Chomsky
               Chomsky berpandangan bahwa sejak lahir manusia sudah memiliki kemampuan berbahasa dalam memori otaknya yang berupa LAD (Language Aquitition Device). Hal itu tercermin pada seorang bayi yang sebenarnya di dalam otak sudah tersimpan kemampuan untuk berkomunikasi yang diturunkan secara biologis, tetapi belum bisa untuk diungkapkan. Namun, seiring berjalannya waktu seorang bayi bisa berbahasa ibu karena adanya jalinan batin yang kuat antar keduanya.

Teori Eric Lenneberg
              Eric berpendapat bahwa manusia telah menerima warisan biologi ketika dilahirkan berupa kemampuan berkomunikasi dengan bahasa khusus sesama manusia dan tidak ada hubunganya dengan kecerdasan dan pemikiran.

Teori Brunner
                 Bertolak belakang dengan pendapat Vygotsky yang mengatakan bahwa awal mula pikiran dan bahasa itu tidak ada hubungannya, tetapi menurut Bruner bahasa dan pikiran itu sebenarnya saling bekerja sama karena dengan bahasa orang dapat berpikir sistematis oleh karena itu bahasa dan pikiran dapat saling membantu.
Teori Kekontroversialan Hipotesis Sapir-Whorf 
  • Sapir-whorf menyatakan bahwa struktur bahasa menentukan struktur pikiran.
  • Piaget menyatakan bahwa struktur pikiran dibentuk oleh perilaku, dan bukan oleh struktur bahasa.Vygotsky menyatakan bahwa pada mulanya bahasa dan pikiran berkembang secara individual dan tidak saling mempengaruhi.
  • Chomsky menyatakan bahwa bahasa dan pemikiran adalah dua buah system yang berasingan yang memiliki keotonomian masing-masing
  •  Lenneberg mengatakan bahwa manusia telah menerima warisan biologi ketika dilahirkan berupa kemampuan berkomunikasi.

Hubungan Bahasa, Pikiran, dan Budaya:

Bahasa dan Pikiran 
Edward Saphir. Whorf mengambil contoh Bangsa Jepang. Orang Jepang  mempunyai pikiran yang sangat tinggi karena orang Jepang mempunyai  banyak kosa kata dalam mejelaskan sebuah realitas. Hal ini membuktikan  bahwa mereka mempunyai pemahaman yang mendetail tentang realitas.


Pikiran mempengaruhi bahasa
Pendukung pendapat ini adalah tokoh psikologi kognitif yang tak asing bagi manusia, yaitu Jean Piaget. Melalui observasi yang dilakukan oleh Piaget  terhadap perkembangan aspek kognitif anak. Ia melihat bahwa perkembangan  aspek kognitif anak akan mempengaruhi bahasa yang digunakannya. Semakin  tinggi aspek tersebut semakin tinggi bahasa yang digunakannya.  


Bahasa dan pikiran saling mempengaruhi
Hubungan timbal balik antara kata-kata dan pikiran dikemukakan oleh  Benyamin Vigotsky, seorang ahli semantik berkebangsaan Rusia yang teorinya dikenal sebagai pembaharu teori Piaget mengatakan bahwa bahasa dan pikiran saling mempengaruhi. Penggabungan Vigotsky terhadap kedua  pendapat di atas banyak diterima oleh kalangan ahli psikologi kognitif.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa memang untuk masalah bahasa, pikiran, dan budaya adalah hal yang rumit, sehingga terjadi kontroversi diantara teori-teori tersebut. Sekarang bergantung pemakai bahasa dalam budaya tertentu ingin memilih teori mana yang menurutnya itu lebih bisa dipahami.


















Referensi

Sumaryono, H. 1993. Hermeneutik. Yogyakarta : Kanisius
Suriasumantri, J. 1998. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor
Wierzbicka, 1995. Emotion and Facial Expression: A Semantic Perspective. Journal Culture & Psychology. Vol I: 227-258. London: Sage Publication
Wierzbicka, 1999. Emotions Across Language and Cultur. Cambridge: Cambridge University Press
http://widhiarso.staff.ugm.ac.id/files/hubungan_antara_bahasa_dan_pikiran.pdf

Kinship Orang Toraja


Sistem Kekerabatan;


Kinship Orang Toraja

Keluarga adalah kelompok sosial dan politik utama dalam suku Toraja. Setiap desa adalah suatu keluarga besar. Setiap tongkonan memiliki nama yang dijadikan sebagai nama desa. Keluarga ikut memelihara persatuan desa. Pernikahan dengan sepupu jauh (sepupu keempat dan seterusnya) adalah praktek umum yang memperkuat hubungan kekerabatan. Suku Toraja melarang pernikahan dengan sepupu dekat (sampai dengan sepupu ketiga) kecuali untuk bangsawan, untuk mencegah penyebaran harta. Hubungan kekerabatan berlangsung secara timbal balik, dalam artian bahwa keluarga besar saling menolong dalam pertanian, berbagi dalam ritual kerbau, dan saling membayarkan utang.
Setiap orang menjadi anggota dari keluarga ibu dan ayahnya. Anak, dengan demikian, mewarisi berbagai hal dari ibu dan ayahnya, termasuk tanah dan bahkan utang keluarga. Nama anak diberikan atas dasar kekerabatan, dan biasanya dipilih berdasarkan nama kerabat yang telah meninggal. Nama bibi, paman dan sepupu yang biasanya disebut atas nama ibu, ayah dan saudara kandung.
Sebelum adanya pemerintahan resmi oleh pemerintah kabupaten Tana Toraja, masing-masing desa melakukan pemerintahannya sendiri. Dalam situasi tertentu, ketika satu keluarga Toraja tidak bisa menangani masalah mereka sendiri, beberapa desa biasanya membentuk kelompok; kadang-kadang, beberapa desa akan bersatu melawan desa-desa lain. Hubungan antara keluarga diungkapkan melalui darah, perkawinan, dan berbagi rumah leluhur (tongkonan), secara praktis ditandai oleh pertukaran kerbau dan babi dalam ritual. Pertukaran tersebut tidak hanya membangun hubungan politik dan budaya antar keluarga tetapi juga menempatkan masing-masing orang dalam hierarki sosial: siapa yang menuangkan tuak, siapa yang membungkus mayat dan menyiapkan persembahan, tempat setiap orang boleh atau tidak boleh duduk, piring apa yang harus digunakan atau dihindari, dan bahkan potongan daging yang diperbolehkan untuk masing-masing orang.
Sistem kekerabatan Suku Toraja tak sebatas aturan tentang hubungan darah dalam suatu keluarga, melainkan sebagai pra-sarana untuk menguatkan kelompok sosial dan politik dalam kehidupan. Hal tersebut bisa dilihat dari komposisi di setiap desa biasanya terbentuk dari suatu keluarga besar. Sehingga setiap tongkonan memiliki nama yang dijadikan sebagai nama desa. Maka secara otomatis, peran keluarga salah satunya adalah turut untuk memelihara persatuan desa. Sehingga sebelum adanya pemerintahan resmi dengan bentuk pemerintah kabupaten Tana Toraja, masing-masing desa melakukan pemerintahannya sendiri. Dalam situasi tertentu, ketika satu keluarga Toraja tidak bisa menangani masalah mereka sendiri, beberapa desa biasanya membentuk kelompok; kadang-kadang, beberapa desa akan bersatu melawan desa-desa lain.
Dalam hal pembagian peran, sistem kekerabatan dalam masyarakat Toraja terbagi atas keluarga inti. Ayah adalah penanggung jawab keluarga dan diganti anak laki-laki bila meninggal. Sedangkan ibu hanya mendidik anak dan menjaga nama baik keluarga. Masyarakat Toraja menggariskan keturunannya berdasarkan garis ayah dan ibu atau dalam istilah umum Bilateral. Seperti pada umumnya, hubungan kekerabatan dapat terbentuk berdasarkan dua hal, yaitu: Pertalian darah atau disebut kandappi, dan dari sebuah perkawinan rampean. Dan dalam tatanan masyarakat Toraja, unsur terkecil dalam sistem kekerabatan disebut Siulu (keluarga batih).
Praktek umum untuk memperkuat hubungan kekerabatan adalah dengan melakukan pernikahan dengan sepupu jauh (sepupu keempat dan seterusnya). Karena suku Toraja melarang pernikahan dengan sepupu dekat (sampai dengan sepupu ketiga) kecuali bagi bangsawan, demi mencegah penyebaran harta.
Hubungan antarkeluarga diungkapkan dengan darah, berbagi rumah leluhur, perkawinan dan secara praktis ditandai oleh pertukaran kerbau dan babi dalam ritual upacara adat. Pertukaran tersebut tidak hanya membangun hubungan politik dan budaya antar keluarga tetapi juga menempatkan masing-masing orang dalam hierarki sosial: siapa yang menuangkan tuak, berrapa jumlah potongan daging yang diperbolehkan untuk masing-masing orang, di mana tempat setiap orang boleh atau tidak boleh duduk, siapa yang membungkus mayat dan menyiapkan persembahan, dan bahkan piring apa yang harus digunakan atau dihindari. Sehingga hubungan kekerabatan berlangsung secara timbal balik, dalam artian bahwa keluarga besar saling menolong dalam pertanian, berbagi dalam ritual kerbau, dan saling membayarkan hutang. Karena sistem kekerabatan masyarakat Suku Toraja berdasarkan Billateral maka setiap orang menjadi anggota dari keluarga ibu dan ayahnya. Dengan demikian, seorang Anak mewarisi berbagai hal dari ibu dan ayahnya, termasuk tanah dan bahkan utang keluarga. Nama anak diberikan atas dasar kekerabatan, dan biasanya dipilih berdasarkan nama kerabat yang telah meninggal. Nama panggilan untuk bibi, paman dan sepupu biasanya disebut atas nama ibu, ayah dan saudara kandung.
Keunikan dalam kekerabatan orang Toraja adalah mereka tetap akan melakukan adopsi walaupun mereka sudah mempunyai anak. Hal itu dikarenakan Suku Toraja mempunyai keyakinan bahwa semakin banyak anak akan semakin banyak pula Toding atau Kerbau yang akan ikut di kubur saat orang tua angkatnya meninggal dunia.
Pengangkatan anak dilakukan terhadap anak yang masih kecil (dianak bitti), anak yang sudah besar dan terhadap orang dewasa, baik laki-laki maupun perempuan, yang diambil dari kalangan keluarga atau bukan dari kalangan keluarga. Proses pengangkatan anak dilaksanakan secara terang dan tunai. Hubungan kekerabatan anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya tidak terputus. Bila terjadi sengketa warisan, maka sering diselesaikan melalui lembaga adat yang berupa tongkonan.
Dengan demikian, maksud dari sistem kekerabatan yang berfungsi sebagai penguat hubungan sosial dan politik dalam kehidupan masyarakat Toraja tetap terjaga dan makin kuat. Suatu hubungan kekerabatan tak perlu menjadi retak atau putus hanya karena perkara hak waris. Karena dalam sistem billateral semua anak memiliki hak yang sama dari ayah dan ibu, dan bagi anak angkat persoalan hak warisnya masih mengacu pada orang tua kandungnya.















Sumber Rujukan

Kajian Antropologis Suku Toraja. http://kwatkhaysin.blogspot.com/ 2011/10/kajian-antropologis-suku-toraja.html
Konsep Sistem Budaya Suku Toraja. http://riyyani-ririn.blogspot.com/ 2011_10_01_archive.html 
Suku Toraja. http://sheilanurcahaya.wordpress.com/ 2012/01/17/suku-toraja/
Tana Toraja. http://herlanzgun.wordpress.com/ 2011/12/12/tana-toraja/
Wacana Nusantara. 2014. http://www.wacananusantara.org/sistem-kekerabatan-suku-toraja/