Selasa, 22 September 2015

Hakikat Semantik dan Relasi Makna


Hakikat Semantik

Kata semantik berasal dari bahasa Yunani sema yang artinya tanda atau lambang (sign). “Semantik” pertama kali digunakan oleh seorang filolog Perancis bernama Michel Breal pada tahun 1883. Kata semantik kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari tentang tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Oleh karena itu, kata semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu salah satu dari tiga tataran analisis bahasa: fonologi, gramatika, dan semantik (Chaer, 1994: 2).
Semantik merupakan istilah teknis yang mengacu pada studi tentang makna. Semantik dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Yunani ‘sema’ (kata benda) yang berarti ‘tanda’ atau ‘lambang’. Kata kerjanya adalah ‘semaino’ yang berarti ‘menandai’ atau ‘melambangkan’. Yang dimaksud tanda atau lambang disini adalah tanda-tanda linguistik (Perancis: signé linguistique).
Menurut Ferdinan de Saussure (1966), tanda lingustik terdiri dari :
1) Komponen yang menggantikan, yang berwujud bunyi bahasa.
2) Komponen yang diartikan atau makna dari komopnen pertama.

Kedua komponen ini adalah tanda atau lambang, dan sedangkan yang ditandai atau dilambangkan adalah sesuatu yang berada di luar bahasa, atau yang lazim disebut sebagai referent/ acuan / hal yang ditunjuk. Jadi, Ilmu Semantik adalah  ilmu yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Ilmu tentang makna atau arti. Pandangan yang bermacam-macam dari para ahli mejadikan para ahli memiliki perbedaan dalam mengartikan semantik. Pengertian semantik yang berbeda-beda tersebut justru diharapkan dapat mngembangkan disiplin ilmu linguistik yang amat luas cakupannya.
1.        Charles Morrist
Mengemukakan bahwa semantik menelaah “hubungan-hubungan tanda-tanda dengan objek-objek yang merupakan wadah penerapan tanda-tanda tersebut”
2.        J.W.M Verhaar; 1981:9
Mengemukakan bahwa semantik (inggris: semantics) berarti teori makna atau teori arti, yakni cabang sistematik bahasa yang menyelidiki makna atau arti. 
3.        Lehrer; 1974: 1
Semantik adalah studi tentang makna. Bagi Lehrer, semantik merupakan bidang kajian yang sangat luas, karena turut menyinggung aspek-aspek struktur dan fungsi bahasa sehingga dapat dihubungkan dengan psikologi, filsafat dan antropologi.
4.        Kambartel (dalam Bauerk, 1979: 195)
Semantik mengasumsikan bahwa bahasa terdiri dari struktur yang menampakan makna apabila dihubungkan dengan objek dalam pengalaman dunia manusia.
5.      Ensiklopedia britanika (Encyclopedia Britanica, vol.20, 1996: 313)
Semantik adalah studi tentang hubungan antara suatu pembeda linguistik dengan hubungan proses mental atau simbol dalam aktifitas bicara.
6.       Dr. Mansoer pateda
Semantik adalah subdisiplin linguistik yang membicarakan makna.


Relasi Makna

Relasi makna dapat berwujud macam-macam. Berikut ini diuraikan beberapa wujud relasi makna.
Sinonimi
Secara semantik Verhaar (1978) mendefinisikan sinonimi sebagai ungkapan (bisa berupa kata, frase, atau kalimat) yang maknanuya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain. Umpamanya kata buruk dan jelek adalah du buah kata yang bersinonim; bunga, kembang, dan puspa adalah tiga kata yang yang bersinonim. Hubungan makna antara dua buah kata yang bersinonim bersifat dua arah. Namun, dua buah kata yang bersinonim itu; kesamaannya tidak seratus persen, hanya kurang lebih saja. Kesamaannya tidak bersifat mutlak.

Antonimi dan Oposisi
Secara semantik Verhaar (1978) mendefenisikan antonimi sebagai: Ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi dapat pula dalam bentuk frase atau kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain. Misalnya kata bagus yang berantonimi dengan kata buruk; kata besar berantonimi dengan kata kecil.
Sama halnya dengan sinonim, antonim pun tidak bersifat mutlak. Itulah sebabnya dalam batasan di atas, Verhaar menyatakan ”…yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain” Jadi, hanya dianggap kebalikan. Bukan mutlak berlawanan.
Sehubungan dengan ini banyak pula yang menyebutnya oposisi makna. Dengan istilah oposisi, maka bisa tercakup dari konsep yang betul-betul berlawanan sampai kepada yang bersifat kontras saja. Kata hidup dan mati, mungkin bisa menjadi contoh yang berlawanan; tetapi hitam dan putih mungkin merupakan contoh yang hanya berkontras.

Homonimi, Homofoni, dan Homografi
Homonimi adalah ‘relasi makna antar kata yang ditulis sama atau dilafalkan sama, tetapi maknanya berbeda’. Kata-kata yang ditulis sama tetapi maknanya berbeda disebut homograf, sedangkan yang dilafalkan sama tetapi berbeda makna disebut homofon. Contoh homograf adalah kata tahu (makanan) yang berhomografi dengan kata tahu (paham), sedang kata masa (waktu) berhomofoni dengan massa (jumlah besar yang menjadi satu kesatuan).

Hiponimi dan Hipernimi
Hiponimi adalah ‘relasi makna yang berkaitan dengan peliputan makna spesifik dalam makna generis, seperti makna anggrek dalam makna bunga, makna kucing dalam makna binatang’. Anggrek, mawar, dan tulip berhiponimi dengan bunga, sedangkan kucing, kambing, dan kuda berhiponimi dengan binatang.  Bunga merupakan superordinat (hipernimi, hiperonim) bagi anggrek, mawar, dan tulip, sedangkan binatang menjadi superordinat bagi kucing, kambing, dan kuda.

Polisemi
Polisemi lazim diartikan sebagai satuan bahasa (terutama kata, bisa juga frase) yang memiliki makna lebih dari satu. Umpamanya kata kepala dalam bahasa Indonesia memiliki makna (1) bagian tubuh dari leher ke atas; (2) bagian dari suatu yang terletak disebelah atas atau depan merupakan hal yang penting atau terutama seperti pada kepala susu, kepala meja, dan kepala kereta api; (3) bagian dari suatu yang berbentuk bulat seperti kepala, seperti pada kepala paku dan kepala jarum; (4) pemimpin atau ketua seperti pada kepala sekolah, kepala kantor, dan kepala stasiun; (5) jiwa atau orang seperti dalam kalimat Setiap kepala menerima bantuan Rp 5000,-.; dan (6) akal budi seperti dalam kalimat, Badannya besar tetapi kepalanya kosong.

Ambiguitas
Ambiguitas atau ketaksaan sering diartikan sebagai kata yang bermakna ganda atau mendua arti. Kegandaan makna dalam ambiguitas berasal dari satuan gramatikal yang lebih besar, yaitu frase atau kalimat dan terjadi sebagai akibat penafsiran struktur gramatikal yang berbeda. Umpamanya frase buku sejarah baru dapat ditafsirkan sebagai (1) buku sejarah itu baru terbit, (2) buku itu berisi sejarah zaman baru.

Redundansi
Istilah redundansi sering diartikan sebagai ’berlebih-lebihan pemakaian unsur segmental dalam suatu bentuk ujaran’. Umpamanya kalimat Bola ditendang Si Badrih, maknanya tidak akan berubah bila dikatakan Bola ditendang oleh Si Badrih. Pemakaian kata oleh pada kalimat kedua dianggap sebagai sesuatu yang redundansi, yang berlebih-lebihan dan sebenarnya tidak perlu.

Senin, 21 September 2015

Hubungan Bahasa, Pikiran, dan Budaya

Berbahasa, berpikir, dan berbudaya saling berkaitan dan berintegrasi dalam kehidupan manusia. Berbahasa adalah menyampaikan pikiran atau perasaan mengenai sesuatu hal dalam kehidupan budayanya. Intinya, sebelum berbahasa terdapat proses berpikir dan dari proses berpikir itulah akan digunakan untuk berkomunikasi dalam kehidupan berbudaya.
 Berikut pendapat menurut para pakar:
Teori Wilhelm Von Humboldt
               Menurut Humboldt berpendapat bahwa pandangan hidup dan budaya suatu masyarakat ditentukan oleh bahasa masyarakat itu sendiri. Jadi, bahasa yang sudah ditetapkan oleh masyarakat tertentu akan menjadi sebuah pandangan hidup atau identitas suatu budaya masyarakat itu sendiri. Selain itu, Humboldt juga berpendapat bahwa bentuk luar merupakan bahasa yang bisa kita dengar misalnya kata yang terucap dari mulut, sedangkan dari dalam merupakan dari otak yaitu pikirannya kita.

Teori Sapir-Whorf
               Sependapat dengan Humboldt, Whorf berpendapat bahwa tidak ada dua buah bahasa yang sama, sehingga dapat dianggap mewakili masyarakat yang sama dan ia menolak adanya pandangan klasik mengenai hubungan bahasa dan berpikir bahwa bahasa berdiri sendiri. Jadi, dalam masyarakat tertentu hanya memiliki satu bahasa yang disepakati, dan Whorf berpandangan bahwa tanpa melalui proses berpikir, bahasa itu sudah berdiri sendiri.

Teori Jean Piaget
                  Berbeda dengan pendapat para ahli diatas, Piaget berpendapat bahwa bahasa terbentuk karena ada yang membentuk yaitu berupa proses berpikir. Tanpa proses berpikir, bahasa tidak akan pernah ada, sehingga proses kemunikasi dalam budaya tidak akan terwujud secara maksimal. Dalam hal ini berarti perilaku berbahasa yang sudah ada dalam pemikiran manusia itu sendiri bisa juga dianggap sebagai bahasa yang terdapat dari nurani manusia itu sendiri.

Teori L.S Vygotsky
                Vygotsky berpandangan bahwa pada awal mulanya bahasa dan pikiran tidak ada hubungan yang mengikat antar keduanya, tetapi seiring berjalannya waktu, manusia akan berpikir tentang bahasa, sehingga manusia akan berbahas dengan pikirannya.

Teori Noam Chomsky
               Chomsky berpandangan bahwa sejak lahir manusia sudah memiliki kemampuan berbahasa dalam memori otaknya yang berupa LAD (Language Aquitition Device). Hal itu tercermin pada seorang bayi yang sebenarnya di dalam otak sudah tersimpan kemampuan untuk berkomunikasi yang diturunkan secara biologis, tetapi belum bisa untuk diungkapkan. Namun, seiring berjalannya waktu seorang bayi bisa berbahasa ibu karena adanya jalinan batin yang kuat antar keduanya.

Teori Eric Lenneberg
              Eric berpendapat bahwa manusia telah menerima warisan biologi ketika dilahirkan berupa kemampuan berkomunikasi dengan bahasa khusus sesama manusia dan tidak ada hubunganya dengan kecerdasan dan pemikiran.

Teori Brunner
                 Bertolak belakang dengan pendapat Vygotsky yang mengatakan bahwa awal mula pikiran dan bahasa itu tidak ada hubungannya, tetapi menurut Bruner bahasa dan pikiran itu sebenarnya saling bekerja sama karena dengan bahasa orang dapat berpikir sistematis oleh karena itu bahasa dan pikiran dapat saling membantu.
Teori Kekontroversialan Hipotesis Sapir-Whorf 
  • Sapir-whorf menyatakan bahwa struktur bahasa menentukan struktur pikiran.
  • Piaget menyatakan bahwa struktur pikiran dibentuk oleh perilaku, dan bukan oleh struktur bahasa.Vygotsky menyatakan bahwa pada mulanya bahasa dan pikiran berkembang secara individual dan tidak saling mempengaruhi.
  • Chomsky menyatakan bahwa bahasa dan pemikiran adalah dua buah system yang berasingan yang memiliki keotonomian masing-masing
  •  Lenneberg mengatakan bahwa manusia telah menerima warisan biologi ketika dilahirkan berupa kemampuan berkomunikasi.

Hubungan Bahasa, Pikiran, dan Budaya:

Bahasa dan Pikiran 
Edward Saphir. Whorf mengambil contoh Bangsa Jepang. Orang Jepang  mempunyai pikiran yang sangat tinggi karena orang Jepang mempunyai  banyak kosa kata dalam mejelaskan sebuah realitas. Hal ini membuktikan  bahwa mereka mempunyai pemahaman yang mendetail tentang realitas.


Pikiran mempengaruhi bahasa
Pendukung pendapat ini adalah tokoh psikologi kognitif yang tak asing bagi manusia, yaitu Jean Piaget. Melalui observasi yang dilakukan oleh Piaget  terhadap perkembangan aspek kognitif anak. Ia melihat bahwa perkembangan  aspek kognitif anak akan mempengaruhi bahasa yang digunakannya. Semakin  tinggi aspek tersebut semakin tinggi bahasa yang digunakannya.  


Bahasa dan pikiran saling mempengaruhi
Hubungan timbal balik antara kata-kata dan pikiran dikemukakan oleh  Benyamin Vigotsky, seorang ahli semantik berkebangsaan Rusia yang teorinya dikenal sebagai pembaharu teori Piaget mengatakan bahwa bahasa dan pikiran saling mempengaruhi. Penggabungan Vigotsky terhadap kedua  pendapat di atas banyak diterima oleh kalangan ahli psikologi kognitif.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa memang untuk masalah bahasa, pikiran, dan budaya adalah hal yang rumit, sehingga terjadi kontroversi diantara teori-teori tersebut. Sekarang bergantung pemakai bahasa dalam budaya tertentu ingin memilih teori mana yang menurutnya itu lebih bisa dipahami.


















Referensi

Sumaryono, H. 1993. Hermeneutik. Yogyakarta : Kanisius
Suriasumantri, J. 1998. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor
Wierzbicka, 1995. Emotion and Facial Expression: A Semantic Perspective. Journal Culture & Psychology. Vol I: 227-258. London: Sage Publication
Wierzbicka, 1999. Emotions Across Language and Cultur. Cambridge: Cambridge University Press
http://widhiarso.staff.ugm.ac.id/files/hubungan_antara_bahasa_dan_pikiran.pdf

Kinship Orang Toraja


Sistem Kekerabatan;


Kinship Orang Toraja

Keluarga adalah kelompok sosial dan politik utama dalam suku Toraja. Setiap desa adalah suatu keluarga besar. Setiap tongkonan memiliki nama yang dijadikan sebagai nama desa. Keluarga ikut memelihara persatuan desa. Pernikahan dengan sepupu jauh (sepupu keempat dan seterusnya) adalah praktek umum yang memperkuat hubungan kekerabatan. Suku Toraja melarang pernikahan dengan sepupu dekat (sampai dengan sepupu ketiga) kecuali untuk bangsawan, untuk mencegah penyebaran harta. Hubungan kekerabatan berlangsung secara timbal balik, dalam artian bahwa keluarga besar saling menolong dalam pertanian, berbagi dalam ritual kerbau, dan saling membayarkan utang.
Setiap orang menjadi anggota dari keluarga ibu dan ayahnya. Anak, dengan demikian, mewarisi berbagai hal dari ibu dan ayahnya, termasuk tanah dan bahkan utang keluarga. Nama anak diberikan atas dasar kekerabatan, dan biasanya dipilih berdasarkan nama kerabat yang telah meninggal. Nama bibi, paman dan sepupu yang biasanya disebut atas nama ibu, ayah dan saudara kandung.
Sebelum adanya pemerintahan resmi oleh pemerintah kabupaten Tana Toraja, masing-masing desa melakukan pemerintahannya sendiri. Dalam situasi tertentu, ketika satu keluarga Toraja tidak bisa menangani masalah mereka sendiri, beberapa desa biasanya membentuk kelompok; kadang-kadang, beberapa desa akan bersatu melawan desa-desa lain. Hubungan antara keluarga diungkapkan melalui darah, perkawinan, dan berbagi rumah leluhur (tongkonan), secara praktis ditandai oleh pertukaran kerbau dan babi dalam ritual. Pertukaran tersebut tidak hanya membangun hubungan politik dan budaya antar keluarga tetapi juga menempatkan masing-masing orang dalam hierarki sosial: siapa yang menuangkan tuak, siapa yang membungkus mayat dan menyiapkan persembahan, tempat setiap orang boleh atau tidak boleh duduk, piring apa yang harus digunakan atau dihindari, dan bahkan potongan daging yang diperbolehkan untuk masing-masing orang.
Sistem kekerabatan Suku Toraja tak sebatas aturan tentang hubungan darah dalam suatu keluarga, melainkan sebagai pra-sarana untuk menguatkan kelompok sosial dan politik dalam kehidupan. Hal tersebut bisa dilihat dari komposisi di setiap desa biasanya terbentuk dari suatu keluarga besar. Sehingga setiap tongkonan memiliki nama yang dijadikan sebagai nama desa. Maka secara otomatis, peran keluarga salah satunya adalah turut untuk memelihara persatuan desa. Sehingga sebelum adanya pemerintahan resmi dengan bentuk pemerintah kabupaten Tana Toraja, masing-masing desa melakukan pemerintahannya sendiri. Dalam situasi tertentu, ketika satu keluarga Toraja tidak bisa menangani masalah mereka sendiri, beberapa desa biasanya membentuk kelompok; kadang-kadang, beberapa desa akan bersatu melawan desa-desa lain.
Dalam hal pembagian peran, sistem kekerabatan dalam masyarakat Toraja terbagi atas keluarga inti. Ayah adalah penanggung jawab keluarga dan diganti anak laki-laki bila meninggal. Sedangkan ibu hanya mendidik anak dan menjaga nama baik keluarga. Masyarakat Toraja menggariskan keturunannya berdasarkan garis ayah dan ibu atau dalam istilah umum Bilateral. Seperti pada umumnya, hubungan kekerabatan dapat terbentuk berdasarkan dua hal, yaitu: Pertalian darah atau disebut kandappi, dan dari sebuah perkawinan rampean. Dan dalam tatanan masyarakat Toraja, unsur terkecil dalam sistem kekerabatan disebut Siulu (keluarga batih).
Praktek umum untuk memperkuat hubungan kekerabatan adalah dengan melakukan pernikahan dengan sepupu jauh (sepupu keempat dan seterusnya). Karena suku Toraja melarang pernikahan dengan sepupu dekat (sampai dengan sepupu ketiga) kecuali bagi bangsawan, demi mencegah penyebaran harta.
Hubungan antarkeluarga diungkapkan dengan darah, berbagi rumah leluhur, perkawinan dan secara praktis ditandai oleh pertukaran kerbau dan babi dalam ritual upacara adat. Pertukaran tersebut tidak hanya membangun hubungan politik dan budaya antar keluarga tetapi juga menempatkan masing-masing orang dalam hierarki sosial: siapa yang menuangkan tuak, berrapa jumlah potongan daging yang diperbolehkan untuk masing-masing orang, di mana tempat setiap orang boleh atau tidak boleh duduk, siapa yang membungkus mayat dan menyiapkan persembahan, dan bahkan piring apa yang harus digunakan atau dihindari. Sehingga hubungan kekerabatan berlangsung secara timbal balik, dalam artian bahwa keluarga besar saling menolong dalam pertanian, berbagi dalam ritual kerbau, dan saling membayarkan hutang. Karena sistem kekerabatan masyarakat Suku Toraja berdasarkan Billateral maka setiap orang menjadi anggota dari keluarga ibu dan ayahnya. Dengan demikian, seorang Anak mewarisi berbagai hal dari ibu dan ayahnya, termasuk tanah dan bahkan utang keluarga. Nama anak diberikan atas dasar kekerabatan, dan biasanya dipilih berdasarkan nama kerabat yang telah meninggal. Nama panggilan untuk bibi, paman dan sepupu biasanya disebut atas nama ibu, ayah dan saudara kandung.
Keunikan dalam kekerabatan orang Toraja adalah mereka tetap akan melakukan adopsi walaupun mereka sudah mempunyai anak. Hal itu dikarenakan Suku Toraja mempunyai keyakinan bahwa semakin banyak anak akan semakin banyak pula Toding atau Kerbau yang akan ikut di kubur saat orang tua angkatnya meninggal dunia.
Pengangkatan anak dilakukan terhadap anak yang masih kecil (dianak bitti), anak yang sudah besar dan terhadap orang dewasa, baik laki-laki maupun perempuan, yang diambil dari kalangan keluarga atau bukan dari kalangan keluarga. Proses pengangkatan anak dilaksanakan secara terang dan tunai. Hubungan kekerabatan anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya tidak terputus. Bila terjadi sengketa warisan, maka sering diselesaikan melalui lembaga adat yang berupa tongkonan.
Dengan demikian, maksud dari sistem kekerabatan yang berfungsi sebagai penguat hubungan sosial dan politik dalam kehidupan masyarakat Toraja tetap terjaga dan makin kuat. Suatu hubungan kekerabatan tak perlu menjadi retak atau putus hanya karena perkara hak waris. Karena dalam sistem billateral semua anak memiliki hak yang sama dari ayah dan ibu, dan bagi anak angkat persoalan hak warisnya masih mengacu pada orang tua kandungnya.















Sumber Rujukan

Kajian Antropologis Suku Toraja. http://kwatkhaysin.blogspot.com/ 2011/10/kajian-antropologis-suku-toraja.html
Konsep Sistem Budaya Suku Toraja. http://riyyani-ririn.blogspot.com/ 2011_10_01_archive.html 
Suku Toraja. http://sheilanurcahaya.wordpress.com/ 2012/01/17/suku-toraja/
Tana Toraja. http://herlanzgun.wordpress.com/ 2011/12/12/tana-toraja/
Wacana Nusantara. 2014. http://www.wacananusantara.org/sistem-kekerabatan-suku-toraja/

Rabu, 09 September 2015

Kepunahan dan Relativitas Bahasa



A.      Pendahuluan

Salah satu hakikat bahasa yaitu kedinamisan. Secara umum kita mengenalnya berkembang seiring berjalannya waktu bahasa senantiasa berkembang dan berubah. Bahkan dalam hitungan tahun bahasa mengalami pergeseran,dan pergeseran inilah yang cenderung membawa suatu bahasa ke ambang kepunahan.
Sekitar 6000 bahasa dituturkan di seluruh dunia. Menurut UNESCO, setengah dari bahasa-bahasa tersebut akan punah di akhir abad ini. Orang tua harus berbicara dengan anaknya dalam bahasa yang mereka benar-benar kuasai. Memperingati Hari Bahasa Ibu Internasional, 21 Februari, organisasi untuk suku adat terancam Jerman menyampaikan kekhawatiran akan punahnya bahasa-bahasa di dunia. Menurut seorang pejabat, Sarah Reinke, saat ini sekitar 1.800 dari sedikitnya 6.000 bahasa di dunia terancam kepunahan. Setiap minggu, satu bahasa hilang tidak dituturkan lagi. Juga di Jerman, 13 bahasa minoritas dan dialek yang kini masih dipakai, seperti Yiddish dan Romani, berada dalam ancaman. Kepunahan bahasa, terutama bahasa minoritas, di dunia diakibatkan dengan semakin meningkatnya mobilitas atau pengaruh media, ditambahkan Sarah Reinke. Selain itu, di beberapa negara otoriter, seperti Rusia dan Cina, bahasa-bahasa minoritas ditekan dengan maksud untuk mencabut akar budaya etnis minoritas di negara-negara tersebut. Di Amerika Selatan, proyek-proyek pembangunan raksasa mengubur habitat dan bahasa adat di wilayah.
Sementara di Indonesia, dengan dijadikannya Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, bahasa ini berandil terhadap punahnya bahasa daerah. Di Indonesia terdapat sekitar 700 bahasa daerah, yang sebagaian besar masih aktif dituturkan sampai sekarang. Namun menurut UNESCO, bahasa-bahasa daerah di Indonesia juga dalam bahaya – sekitar 140 bahasa daerah terancam kepunahan.
Melihat kepunahan bahasa ibu atau bahasa daerah yang berangsur-angsur terjadi di dunia ini, khususnya di Indonesia menjadi satu tolok ukur bagi pemerhati bahasa untuk meninjau hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya hal demikian. Maka langkah awal untuk mengetahui terjadinya kepunahan bahasa karena adanya faktor-faktor internal maupun eksternal perlu dilakukan suatu penelitian.

A.      Pembahasan
Untuk memahami perihal kepunahan bahasa, alangkah baiknya jika terlebih dahulu dicermati kembali konsep pergeseran bahasa. Dalam konsep pergeseran bahasa ini dikatakan bahwa bahasa mengalami pergeseran jika pemakaian antara bahasa pertama dan bahasa kedua tidak seimbang. Ketika keseimbangan ini tidak ada lagi, dua kemungkinan yang akan muncul. Kemungkinan yang pertama adalah bahasa pertama tetap bertahan, kedua bahasa pertama tersingkirkan oleh bahasa kedua. Dari kedua kemungkinan ini, yang mengarah kepada kepunahan adalah kemungkinan kedua.
Saat dilahirkan ke dunia ini, manusia mulai belajar bahasa. Sedikit demi sedikit, bahasa yang dipelajari olehnya sejak kecil semakin dikuasainya sehingga menjadi bahasa pertamanya. Dengan bahasa yang dikuasai olehnya itu, ia berinteraksi dengan masyarakat di sekitarnya.
Setelah beranjak remaja, mereka sudah menguasai dua atau lebih bahasa. Semua itu ia peroleh ketika berinteraksi dengan masyarakat atau ketika belajar di sekolah. Hal ini menyebabkan ia menjadi multibahasawan. Ketika menjadi multibahasawan,  mereka dihadapkan pada pertanyaan, yaitu manakah di antara bahasa yang ia kuasai merupakan bahasa yang paling penting? Di saat-saat seperti inilah terjadi proses pergeseran bahasa, yaitu menempatkan sebuah bahasa menjadi lebih penting di antara bahasa-bahasa yang ia kuasai.
Apabila kasusnya seperti ini dikatakanlah bahasa pertama yang pada mulanya dipakai oleh suatu guyup tutur (komunitas pemakai bahasa) menjadi punah karena guyup tutur tersebut lebih mengutakan bahasa kedua (secara total meniggalkan bahasa pertamanya).

A.      Pengertian

Berdasarkan penjelasan di atas muncullah pertanyaan ini. Apa yang di maksud dengan kepunahan bahasa? Berkaitan dengan hal ini, pendapat yang dikemukakan oleh Dorian (1978)  dalam Sumarsono dan Partana, (2008:284) dapat menjadi bahan acuan kita. Dorian mengemukakan bahwa “kepunahan bahasa hanya dapat dipakai bagi pergeseran total di dalam satu guyup saja dan pergeseran itu dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain, bukan dari ragam bahasa yang satu ke ragam bahasa yang lain dalam satu bahasa.” Artinya, bahasa yang punah itu tidak tahan terhadap persaingan bahasa yang lain bukan karena persaingan prestise antar ragam bahasa dalam satu bahasa. Berdasarkan penjelasan Dorian ini, dapat disimpulkan bahwa kepunahan bermakna terjadinya pergeseran total dari satu bahasa ke bahasa yang lain dalam satu guyup tutur.
Mengapa bahasa itu mati atau punah?
Ada beberapa hal bahasa itu mati:
1.      bahasa mati melalui “perubahan”
2.      bahasa tidak pernah dituliskan/dokumen tertulis
3.      tidak memiliki penutur asli dan tidak lagi diteruskan kepada anak-anak
4.      secara bertahap berkembang menjadi bahasa baru
5.      kadang-kadang adalah akibat bencana alam
6.      penyebab paling umum bahasa mati bukanlah kematian penduduk dan pergeseran bahasa. Hal ini terjadi penutur bahasa tidak diteruskan kepada anak-anak mereka. Sebaliknya, anak-anak memperoleh bahasa yang berbeda dari orang tua: dan secara bertahap 'pergeseran' bahasa terjadi di seluruh masyarakat.
7.      para ahli bahasa: hilangnya bahasa adalah kerugian bagi ilmu pengetahuan
8.      dalam banyak kasus, bahasa yang terancam punah menunjukkan kepada kita mungkin adanya 'batas' bahasa.
Upaya revitalisasi untuk menjadi sukses, motivasi utama harus datang dari masyarakat penutur bahasa itu sendiri. Ahli bahasa juga dapat bekerja dengan penutur untuk datang dengan membawa sistem penulisan jika bahasa yang tidak tertulis, menulis tata bahasa dan deskripsi bahasa, dan akhirnya membantu mempersiapkan bahan ajar untuk sekolah-sekolah.
Transmisi bahasa ke generasi berikutnya adalah kunci untuk melestarikannya, anak-anak adalah fokus dari banyak program revitalisasi.
Istilah relativitas bahasa tekait dengan hubungan bahasa, pikiran, dan budaya, muncul. Relativitas bahasa muncul karena adanya sebuah kenyataan atau fakta bahwa setiap bahasa memiliki caranya masing-masing dalam mendeskripsikan dunia. Bahasa telah menciptakan sebuah sistemnya sendiri untuk mendeskripsikan dunia. Sistem tersebut tidak dapat diukur atau tidak dapat disamakan satu sama lain. Seseorang akan menarik sebuah kesimpulam terhadap dunia di luar dirinya berdasarkan bahasa yang dimilikinya. Ludwig Wittgenstein mengeluarkan sebuah kalimat yang menarik tentang bahasa sebagai media ekspresi sebuah realitas, “the limits of my language mean the limits of my world” (dalam Warren, Joshua, 2007).
Pemikiran-pemikiran Boaz yang berkaitan dengan relativitas bahasa, dikembangkan oleh Sapir-Whorf yang secara garis besar menyatakan bahwa bahasa merupakan sebuah fenomena yang bersifat relatif antara bahasa satu dengan yang lain. Sifat relatif tersebut disebabkan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi yaitu budaya. Berkaitan dengan konsep relativitas bahasa tersebut muncullah Hipotesis Sapir-Whorf . Dasar teorinya menyatakan bahwa bahasa itu merupakan aktivitas rohani, proses kejiwaan yang berulang-ulang untuk membentuk gagasan/pikiran melalui bunyi yang berartikulasi. Setiap bahasa memiliki keistimewaan yaitu lambang jiwa, tabiat dan sifat bangsa. Akibatnya timbul keragaman bahasa dan perbedaannya. Selanjutnya prinsip dasarnya menyebutkan bahwa bahasa milik suatu bangsa menentukan pandangannya terhadap dunia dan lingkungan sekitarnya melalui kategori gramatikal dan klasifikasi semantik yang mungkin dalam bahasa yang diwarisinya bersama kebudayaannya.
Kajian mengenai relativitas budaya inilah yang memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan analisis komparatif bahasa. Analisis komparatif terhadap bahasa satu dengan yang lain telah membuktikan bahwa bahasa satu dengan yang lain memiliki konsep dan sistem yang berbeda.
Konsep Saphir-Whorf Saphir-Worf mengatakan bahwa tidak ada bahasa yang memiliki kesamaan yang sangat dominan dalam mengungkapkan sebuah realitas yang sama. Hal ini dikarenakan terdapat hubungan antara bahasa dan pikiran, atau lebih tajam lagi dapat dikatakan bahwa bahasa mempengaruhi pikiran. Sapir-Whorf mengutarakan dua hipotesis mengenai keterkaitan antara bahasa dan pikiran:
1.        hipotesis relativitas bahasa yang menyatakan bahwa perbedaan struktur bahasa secara umum paralel dengan perbedaan kognitif non-bahasa. Perbedaan bahasa menyebabkan perbedaan pikiran orang yang menggunakan bahasa tersebut.
2.        hipotetsis determinisme bahasa yang menyatakan bahwa struktur bahasa mempengaruhi persepsi manusia terhadap realitas. Pengaruh bahasa terhadap pikiran dapat terjadi melalui sebuah kebiasaan dan melalui aspek formal bahasa, misalnya tata bahasa dan leksikon. Sebuah contoh ilustrasi yang sangat terkenal yatitu kata salju. Whorf menyatakan bahwa semua bahasa memiliki konsep untuk menggambarkan konsep salju, baik salju yang sedang turun, salju yang ada dipermukaan tanah, maupun salju yang meleleh. Berbeda dengan bangas Eskimo yang memiliki leksikon yang berbeda untuk mengungkapkan salju yang sedang turun, salju yang ada di permukaan tanah, dan salju yang sedang meleleh. Tidak ada dua bahasa yang cukup sama untuk mewakili realitas yang sama. Dunia tempat tinggal masyarakat dinilai oleh Whorf sebagai dunia yang sama namun memiliki perbedaan karakteristik. Perbedaan tersebut menjadi penyebab perbedaan dalam menangkap dan mengekspresikan sebuah realitas. Contoh lain yaitu tentang konsep warna. Lucy, seorang antropolog menulis mengenai perbedaan bahasa berkaitan dengan aktivitas perseptual. Dua individu yang memiliki kosa kata tentang warna dasar (basic color) yang berbeda, akan mengurutkan warna sekunder dengan cara yang berbeda. Relativitas bahasa melihat bahwa kategori yang ada dalam bahasa menjadi dasar dari aktivitas mental, seperti kategorisasi, ingatan, dan pengambilan keputusan.

B.       Faktor yang Mengakibatkan Kepunahan Bahasa
Bagaimanakah sebuah bahasa dikatakan punah? Apakah ketika sebuah bahasa yang tidak dipakai lagi di seluruh dunia disebut sebagai bahasa yang telah punah ataukah sebuah bahasa yang tidak dipakai lagi dalam sebuah guyup tutur, tetapi masih dipakai dalam guyup tutur juga disebut dengan bahasa yang punah.
Selanjutnya, Kloss (1984) dalam Sumarsono (2008:286) menyebutkan bahwa ada tiga tipe utama kepunahan bahasa, yaitu;
1.      Kepunahan bahasa tanpa terjadinya pergeseran bahasa (guyup tuturnya lenyap) seperti terjadinya bencana alam yang melenyapkan suatu komunitas pemakai bahasa dan lain-lain.
2.      Kepunahan bahasa karena pergeseran bahasa (guyup tutur tidak berada dalam “wilayah tutur yang kompak”, atau bahasa itu menyerah kepada “pertentangan intrinsik prasarana budaya modern yang berdasarkan teknologi”.
3.      Kepunahan bahasa nominal melalui metamorfosis. (misalnya suatu bahasa turun derajat menjadi berstatus dialeg ketika guyup tuturnya tidak lagi menulis dalam bahasa itu dan mulai memakai bahasa lain).
Kushartanti, dkk (eds), (2005:186). Dari tiga tipe kepunahan bahasa yang dikemukakan Kloss di atas, kasus yang paling banyak terjadi adalah tipe yang ke-2. Tentunya hal ini disebabkan oleh berbagai faktor. Sebut saja misalnya masyarakat Aborijin Australia. Akibat datangnya penduduk baru dari Eropa, beberapa bahasa Aborijin Australia punah. Selain itu, banyak bahasa masyarakat Aborijin punah secara paksa, yaitu dengan adanya tekanan dari pihak pendatang Eropa. Generasi tuanya ditekan untuk memaksa anak-anak mereka menggunakan bahasa Inggris. Dengan kata lain, punahnya beberapa bahasa masyarakat Aborijin disebabkan oleh tidak seimbangnya kontak bahasa, yaitu dominasi kelompok berkuasa yang memberikan tekanan yang sangat kuat terhadap bahasa penduduk yang dikuasainya. Sebagian penduduk Maori, misalnya, karena dijajah oleh orang Eropa, mengganti bahasa Ibunya dengan bahasa Inggris, sementara yang masih mempertahankan bahasa Mauri pun fasih berbahasa Inggris.
Pakar budaya dan bahasa Universitas Negeri Makassar (UNM), Prof. Dr. Zainuddin Taha, mengatakan bahwa pada abad ini diperkirakan 50 persen dari 5.000 bahasa di dunia terancam punah, atau setiap dua pekan hilang satu bahasa. Selanjutnya, dikatakan olehnya bahwa Kepunahan tersebut bukan karena bahasa itu hilang atau lenyap dari lingkungan peradaban, melainkan para penuturnya meninggalkannya dan bergeser ke penggunaan bahasa lain yang dianggap lebih menguntungkan dari segi ekonomi, sosial, politik atau psikologis. Di Indonesia sendiri, katanya, keadaan pergeseran bahasa yang mengarah kepada kepunahan ini semakin nyata dalam kehidupan sehari-hari terutama di kalangan keluarga yang tinggal di perkotaan. Pergeseran ini tidak hanya dialami bahasa-bahasa daerah yang jumlah penuturnya sudah sangat kurang (bahasa minor), tetapi juga pada bahasa yang jumlah penuturnya tergolong besar (bahasa mayor) seperti bahasa Jawa, Bali, Banjar, dan Lampung, termasuk bahasa-bahasa daerah di Sulawesi Selatan seperti Bugis, Makassar, Toraja, dan Massenrempulu.
Bagaimanakah menghambat kepunahan ini? Ada berbagai hal yang dapat dilakukan untuk mencegah ataupun menghambat kepunahan pada bahasa, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut;
1.      Pembiasaan oleh orang tua kepada anak untuk berkomunikasi memakai bahasa daerah, seperti memekai bahasa Madura dalam lingkungan keluarga.
2.      Penanaman kesadaran terhadap generasi penerus terhadap pentingnya melestarikan bahasa, baik melalui keluarga, sekolah, ataupun peran anggota masyarakat yang peduli terhadap pelestarian bahasa.
3.       Menjadikan bahasa daerah sebagai mata pelajaran wajib di berbagai jenjang pendidikan. Bahkan bila diperlukan, mata pelajaran bahasa daerah disama ratakan dengan mata pelajaran yang lain, baik dari alokasi waktu yang digunakan, ataupun dari teknik ujiannya.
4.      Membentuk jurusan atau jika memungkinkan fakultas di perguruan tinggi yang khusus membidangi bahasa daerah. Lulusan-lulusan dari jurusan ini akan diterjunkan ke sekolah, media massa baik cetak maupun elektronik yang memiliki program atau jam tayang yang menggunakan bahasa daerah sebagai perantara dan tentunya diimbangi dengan insentif yang layak.


C.      Simpulan

Kepunahan bahasa merupakan pergeseran total di dalam satu guyup saja dan pergeseran itu dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain, bukan dari ragam bahasa yang satu ke ragam bahasa yang lain dalam satu bahasa, artinya bahasa pertama yang pada mulanya dipakai oleh suatu guyup tutur (komunitas pemakai bahasa) menjadi punah karena guyup tutur tersebut lebih mengutakan bahasa kedua (secara total meniggalkan bahasa pertamanya), atau karna lenyapnya komunitas pemakai bahasa yang terjadi karna adanya bencana alam dan semacamnya.
Namun terlepas dari itu semua, terdapat pula upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk menghambat dan mencegah terjadinya kepunahan bahasa melalui penanaman kesadaran terhadap pelestarian bahasa, memasukkan mata pelajaran bahasa daerah di setiap jenjang pendidikan, dan sebagainya. Dengan begitu, maka terjadinya kepunahan bahasa dapat dihindari.







Daftar Pustaka:


Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta

Durranti, Alessandro. 2000. Relativity dalam Journal of Linguistic Anthropology 9 (1-2): 220-222.
Kushartanti, dkk (eds). 2005. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami   Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Sumarsono. 2008. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Widhiarso, Wahyu. 2005. Pengaruh Bahasa Terhadap Pikiran, Kajian Hipotesis Benyamin Whorf dan Edward Sapir. Jogjakarta.
http://www.gatra.com/2007-06-01/artikel

Tugas Presentasi MK Teori-Teori Linguistik 2/ Dosen: Prof. Dr. Lukman, M.S___ UNHAS