A.
Pendahuluan
Salah satu hakikat bahasa yaitu kedinamisan. Secara umum kita mengenalnya berkembang seiring berjalannya waktu bahasa senantiasa berkembang dan berubah. Bahkan
dalam hitungan tahun bahasa mengalami pergeseran,dan pergeseran inilah yang
cenderung membawa suatu bahasa ke ambang kepunahan.
Sekitar 6000 bahasa dituturkan di
seluruh dunia. Menurut UNESCO, setengah dari bahasa-bahasa tersebut akan punah
di akhir abad ini. Orang tua harus berbicara dengan anaknya dalam bahasa yang
mereka benar-benar kuasai. Memperingati Hari Bahasa Ibu Internasional, 21
Februari, organisasi untuk suku adat terancam Jerman menyampaikan kekhawatiran
akan punahnya bahasa-bahasa di dunia. Menurut seorang pejabat, Sarah Reinke,
saat ini sekitar 1.800 dari sedikitnya 6.000 bahasa di dunia terancam
kepunahan. Setiap minggu, satu bahasa hilang tidak dituturkan lagi. Juga di
Jerman, 13 bahasa minoritas dan dialek yang kini masih dipakai, seperti Yiddish
dan Romani, berada dalam ancaman. Kepunahan bahasa, terutama bahasa minoritas,
di dunia diakibatkan dengan semakin meningkatnya mobilitas atau pengaruh media,
ditambahkan Sarah Reinke. Selain itu, di beberapa negara otoriter, seperti
Rusia dan Cina, bahasa-bahasa minoritas ditekan dengan maksud untuk mencabut
akar budaya etnis minoritas di negara-negara tersebut. Di Amerika Selatan,
proyek-proyek pembangunan raksasa mengubur habitat dan bahasa adat di wilayah.
Sementara di Indonesia, dengan
dijadikannya Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, bahasa ini berandil
terhadap punahnya bahasa daerah. Di Indonesia terdapat sekitar 700 bahasa
daerah, yang sebagaian besar masih aktif dituturkan sampai sekarang. Namun menurut UNESCO, bahasa-bahasa daerah di Indonesia juga dalam bahaya
– sekitar 140 bahasa daerah terancam kepunahan.
Melihat kepunahan bahasa ibu atau
bahasa daerah yang berangsur-angsur terjadi di dunia ini, khususnya di
Indonesia menjadi satu tolok ukur bagi pemerhati bahasa untuk meninjau hal-hal
yang melatarbelakangi terjadinya hal demikian. Maka langkah awal untuk
mengetahui terjadinya kepunahan bahasa karena adanya faktor-faktor internal
maupun eksternal perlu dilakukan suatu penelitian.
A. Pembahasan
Untuk
memahami perihal kepunahan bahasa, alangkah baiknya jika terlebih dahulu
dicermati kembali konsep pergeseran bahasa. Dalam konsep pergeseran bahasa ini
dikatakan bahwa bahasa mengalami pergeseran jika pemakaian antara bahasa
pertama dan bahasa kedua tidak seimbang. Ketika keseimbangan ini tidak ada
lagi, dua kemungkinan yang akan muncul. Kemungkinan yang pertama
adalah bahasa pertama tetap bertahan, kedua bahasa pertama
tersingkirkan oleh bahasa kedua. Dari kedua kemungkinan ini, yang mengarah
kepada kepunahan adalah kemungkinan kedua.
Saat
dilahirkan ke dunia ini, manusia mulai belajar bahasa. Sedikit demi sedikit,
bahasa yang dipelajari olehnya sejak kecil semakin dikuasainya sehingga menjadi bahasa pertamanya. Dengan bahasa yang dikuasai olehnya itu, ia
berinteraksi dengan masyarakat di sekitarnya.
Setelah beranjak remaja, mereka sudah
menguasai dua atau lebih bahasa. Semua itu ia peroleh ketika berinteraksi
dengan masyarakat atau ketika belajar di sekolah.
Hal ini menyebabkan ia menjadi multibahasawan. Ketika menjadi
multibahasawan, mereka dihadapkan pada pertanyaan, yaitu manakah di
antara bahasa yang ia kuasai merupakan bahasa yang paling penting? Di
saat-saat seperti inilah terjadi proses pergeseran bahasa, yaitu menempatkan
sebuah bahasa menjadi lebih penting di antara bahasa-bahasa yang ia kuasai.
Apabila
kasusnya seperti ini dikatakanlah bahasa pertama yang pada mulanya dipakai oleh
suatu guyup tutur (komunitas pemakai bahasa) menjadi punah karena guyup tutur
tersebut lebih mengutakan bahasa kedua (secara total meniggalkan bahasa
pertamanya).
A.
Pengertian
Berdasarkan penjelasan di atas muncullah pertanyaan ini. Apa yang di
maksud dengan kepunahan bahasa? Berkaitan dengan hal ini, pendapat
yang dikemukakan oleh Dorian (1978) dalam Sumarsono
dan Partana, (2008:284) dapat
menjadi bahan acuan kita. Dorian mengemukakan bahwa “kepunahan bahasa hanya
dapat dipakai bagi pergeseran total di dalam satu guyup saja dan pergeseran itu
dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain, bukan dari ragam
bahasa yang satu ke ragam bahasa yang lain dalam satu bahasa.” Artinya, bahasa
yang punah itu tidak tahan
terhadap persaingan bahasa yang lain bukan karena persaingan prestise antar ragam bahasa
dalam satu bahasa. Berdasarkan penjelasan Dorian ini, dapat disimpulkan bahwa
kepunahan bermakna terjadinya pergeseran total dari satu bahasa ke bahasa yang
lain dalam satu guyup tutur.
Mengapa
bahasa itu mati atau punah?
Ada beberapa hal bahasa itu mati:
1.
bahasa mati melalui “perubahan”
2.
bahasa tidak pernah dituliskan/dokumen tertulis
3.
tidak memiliki penutur asli dan tidak lagi diteruskan
kepada anak-anak
4.
secara bertahap berkembang menjadi bahasa baru
5.
kadang-kadang adalah akibat bencana alam
6.
penyebab paling umum bahasa mati bukanlah kematian
penduduk dan pergeseran bahasa. Hal ini terjadi penutur bahasa tidak diteruskan
kepada anak-anak mereka. Sebaliknya, anak-anak memperoleh bahasa yang berbeda
dari orang tua: dan secara bertahap 'pergeseran' bahasa terjadi di seluruh
masyarakat.
7.
para ahli bahasa: hilangnya bahasa adalah kerugian
bagi ilmu pengetahuan
8.
dalam banyak kasus, bahasa yang terancam punah
menunjukkan kepada kita mungkin adanya 'batas' bahasa.
Upaya revitalisasi untuk menjadi sukses, motivasi
utama harus datang dari masyarakat penutur bahasa itu sendiri. Ahli bahasa juga
dapat bekerja dengan penutur untuk datang dengan membawa sistem penulisan jika
bahasa yang tidak tertulis, menulis tata bahasa dan deskripsi bahasa, dan
akhirnya membantu mempersiapkan bahan ajar untuk sekolah-sekolah.
Transmisi bahasa ke generasi berikutnya adalah kunci
untuk melestarikannya, anak-anak adalah fokus dari banyak program revitalisasi.
Istilah relativitas bahasa tekait
dengan hubungan bahasa, pikiran, dan budaya, muncul. Relativitas bahasa muncul
karena adanya sebuah kenyataan atau fakta bahwa setiap bahasa memiliki caranya
masing-masing dalam mendeskripsikan dunia. Bahasa telah menciptakan sebuah
sistemnya sendiri untuk mendeskripsikan dunia. Sistem tersebut tidak dapat diukur
atau tidak dapat disamakan satu sama lain. Seseorang akan menarik sebuah
kesimpulam terhadap dunia di luar dirinya berdasarkan bahasa yang dimilikinya.
Ludwig Wittgenstein mengeluarkan sebuah kalimat yang menarik tentang bahasa
sebagai media ekspresi sebuah realitas, “the limits of my language mean the
limits of my world” (dalam Warren, Joshua, 2007).
Pemikiran-pemikiran Boaz yang
berkaitan dengan relativitas bahasa, dikembangkan oleh Sapir-Whorf yang secara
garis besar menyatakan bahwa bahasa merupakan sebuah fenomena yang bersifat
relatif antara bahasa satu dengan yang lain. Sifat relatif tersebut disebabkan
adanya faktor-faktor yang mempengaruhi yaitu budaya. Berkaitan dengan konsep
relativitas bahasa tersebut muncullah Hipotesis Sapir-Whorf . Dasar teorinya
menyatakan bahwa bahasa itu merupakan aktivitas rohani, proses kejiwaan yang
berulang-ulang untuk membentuk gagasan/pikiran melalui bunyi yang
berartikulasi. Setiap bahasa memiliki keistimewaan yaitu lambang jiwa, tabiat
dan sifat bangsa. Akibatnya timbul keragaman bahasa dan perbedaannya.
Selanjutnya prinsip dasarnya menyebutkan bahwa bahasa milik suatu bangsa
menentukan pandangannya terhadap dunia dan lingkungan sekitarnya melalui
kategori gramatikal dan klasifikasi semantik yang mungkin dalam bahasa yang diwarisinya
bersama kebudayaannya.
Kajian mengenai relativitas budaya
inilah yang memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan analisis komparatif
bahasa. Analisis komparatif terhadap bahasa satu dengan yang lain telah
membuktikan bahwa bahasa satu dengan yang lain memiliki konsep dan sistem yang
berbeda.
Konsep Saphir-Whorf Saphir-Worf
mengatakan bahwa tidak ada bahasa yang memiliki kesamaan yang sangat dominan
dalam mengungkapkan sebuah realitas yang sama. Hal ini dikarenakan terdapat
hubungan antara bahasa dan pikiran, atau lebih tajam lagi dapat dikatakan bahwa
bahasa mempengaruhi pikiran. Sapir-Whorf mengutarakan dua hipotesis mengenai
keterkaitan antara bahasa dan pikiran:
1.
hipotesis relativitas bahasa yang
menyatakan bahwa perbedaan struktur bahasa secara umum paralel dengan perbedaan
kognitif non-bahasa. Perbedaan bahasa menyebabkan perbedaan pikiran orang yang
menggunakan bahasa tersebut.
2.
hipotetsis determinisme bahasa yang
menyatakan bahwa struktur bahasa mempengaruhi persepsi manusia terhadap
realitas. Pengaruh bahasa terhadap pikiran dapat terjadi melalui sebuah
kebiasaan dan melalui aspek formal bahasa, misalnya tata bahasa dan leksikon.
Sebuah contoh ilustrasi yang sangat terkenal yatitu kata salju. Whorf
menyatakan bahwa semua bahasa memiliki konsep untuk menggambarkan konsep salju,
baik salju yang sedang turun, salju yang ada dipermukaan tanah, maupun salju
yang meleleh. Berbeda dengan bangas Eskimo yang memiliki leksikon yang berbeda
untuk mengungkapkan salju yang sedang turun, salju yang ada di permukaan tanah,
dan salju yang sedang meleleh. Tidak ada dua bahasa yang cukup sama untuk
mewakili realitas yang sama. Dunia tempat tinggal masyarakat dinilai oleh Whorf
sebagai dunia yang sama namun memiliki perbedaan karakteristik. Perbedaan
tersebut menjadi penyebab perbedaan dalam menangkap dan mengekspresikan sebuah
realitas. Contoh lain yaitu tentang konsep warna. Lucy, seorang antropolog
menulis mengenai perbedaan bahasa berkaitan dengan aktivitas perseptual. Dua
individu yang memiliki kosa kata tentang warna dasar (basic color) yang
berbeda, akan mengurutkan warna sekunder dengan cara yang berbeda. Relativitas
bahasa melihat bahwa kategori yang ada dalam bahasa menjadi dasar dari
aktivitas mental, seperti kategorisasi, ingatan, dan pengambilan keputusan.
B. Faktor yang
Mengakibatkan Kepunahan Bahasa
Bagaimanakah sebuah bahasa dikatakan
punah? Apakah ketika sebuah bahasa yang tidak dipakai lagi di seluruh dunia
disebut sebagai bahasa yang telah punah ataukah sebuah bahasa yang tidak dipakai
lagi dalam sebuah guyup tutur, tetapi masih dipakai dalam guyup tutur juga
disebut dengan bahasa yang punah.
Selanjutnya, Kloss (1984) dalam
Sumarsono (2008:286) menyebutkan bahwa ada tiga tipe utama kepunahan bahasa,
yaitu;
1.
Kepunahan
bahasa tanpa terjadinya pergeseran bahasa (guyup tuturnya lenyap) seperti terjadinya bencana alam yang melenyapkan
suatu komunitas pemakai bahasa dan lain-lain.
2.
Kepunahan bahasa karena pergeseran bahasa (guyup tutur
tidak berada dalam “wilayah tutur yang kompak”, atau bahasa itu menyerah kepada
“pertentangan intrinsik prasarana budaya modern yang berdasarkan teknologi”.
3.
Kepunahan
bahasa nominal melalui metamorfosis. (misalnya suatu bahasa turun derajat menjadi berstatus dialeg ketika guyup
tuturnya tidak lagi menulis dalam bahasa itu dan mulai memakai bahasa lain).
Kushartanti, dkk (eds), (2005:186). Dari tiga tipe kepunahan bahasa yang dikemukakan Kloss di atas, kasus yang
paling banyak terjadi adalah tipe yang ke-2. Tentunya hal ini disebabkan oleh berbagai faktor. Sebut saja misalnya
masyarakat Aborijin Australia. Akibat datangnya penduduk baru dari Eropa,
beberapa bahasa Aborijin Australia punah. Selain itu, banyak bahasa masyarakat
Aborijin punah secara paksa, yaitu dengan adanya tekanan dari pihak pendatang
Eropa. Generasi tuanya ditekan untuk memaksa anak-anak mereka menggunakan
bahasa Inggris. Dengan kata lain, punahnya beberapa bahasa masyarakat Aborijin
disebabkan oleh tidak seimbangnya kontak bahasa, yaitu dominasi kelompok
berkuasa yang memberikan tekanan yang sangat kuat terhadap bahasa penduduk yang
dikuasainya. Sebagian penduduk Maori, misalnya, karena dijajah oleh orang
Eropa, mengganti bahasa Ibunya dengan bahasa Inggris, sementara yang masih
mempertahankan bahasa Mauri pun fasih berbahasa Inggris.
Pakar budaya
dan bahasa Universitas Negeri Makassar (UNM), Prof. Dr. Zainuddin Taha,
mengatakan bahwa pada abad ini diperkirakan 50 persen dari 5.000 bahasa di
dunia terancam punah, atau setiap dua pekan hilang satu bahasa. Selanjutnya,
dikatakan olehnya bahwa Kepunahan tersebut bukan karena bahasa itu hilang atau
lenyap dari lingkungan peradaban, melainkan para penuturnya meninggalkannya dan
bergeser ke penggunaan bahasa lain yang dianggap lebih menguntungkan dari segi
ekonomi, sosial, politik atau psikologis. Di Indonesia sendiri, katanya,
keadaan pergeseran bahasa yang mengarah kepada kepunahan ini semakin nyata
dalam kehidupan sehari-hari terutama di kalangan keluarga yang tinggal di
perkotaan. Pergeseran ini tidak hanya dialami bahasa-bahasa daerah yang jumlah
penuturnya sudah sangat kurang (bahasa minor), tetapi juga pada bahasa yang
jumlah penuturnya tergolong besar (bahasa mayor) seperti bahasa Jawa, Bali,
Banjar, dan Lampung, termasuk bahasa-bahasa daerah di Sulawesi Selatan seperti
Bugis, Makassar, Toraja, dan Massenrempulu.
Bagaimanakah menghambat kepunahan
ini? Ada berbagai hal yang dapat dilakukan untuk mencegah ataupun menghambat
kepunahan pada bahasa, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut;
1.
Pembiasaan oleh orang tua kepada anak untuk
berkomunikasi memakai bahasa daerah, seperti memekai bahasa Madura dalam
lingkungan keluarga.
2.
Penanaman
kesadaran terhadap generasi penerus terhadap pentingnya melestarikan bahasa,
baik melalui keluarga, sekolah, ataupun peran anggota masyarakat yang peduli
terhadap pelestarian bahasa.
3.
Menjadikan
bahasa daerah sebagai mata pelajaran wajib di berbagai jenjang pendidikan.
Bahkan bila diperlukan, mata pelajaran bahasa daerah disama ratakan dengan
mata pelajaran yang lain, baik dari alokasi waktu yang digunakan, ataupun
dari teknik ujiannya.
4.
Membentuk
jurusan atau jika memungkinkan fakultas di perguruan tinggi yang khusus
membidangi bahasa daerah. Lulusan-lulusan dari jurusan ini akan diterjunkan ke
sekolah, media massa baik cetak maupun elektronik yang memiliki program atau
jam tayang yang menggunakan bahasa daerah sebagai perantara dan tentunya
diimbangi dengan insentif yang layak.
C.
Simpulan
Kepunahan bahasa merupakan pergeseran total di dalam
satu guyup saja dan pergeseran itu dari bahasa yang satu ke bahasa yang
lain, bukan dari ragam bahasa yang satu ke ragam bahasa yang lain dalam
satu bahasa, artinya bahasa pertama yang pada mulanya dipakai oleh suatu guyup
tutur (komunitas pemakai bahasa) menjadi punah karena guyup tutur tersebut
lebih mengutakan bahasa kedua (secara total meniggalkan bahasa pertamanya),
atau karna lenyapnya komunitas pemakai bahasa yang terjadi karna adanya bencana
alam dan semacamnya.
Namun terlepas dari itu semua, terdapat pula
upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk menghambat dan mencegah terjadinya
kepunahan bahasa melalui penanaman kesadaran terhadap pelestarian bahasa,
memasukkan mata pelajaran bahasa daerah di setiap jenjang pendidikan, dan
sebagainya. Dengan begitu, maka terjadinya
kepunahan bahasa dapat dihindari.
Daftar
Pustaka:
Chaer,
Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal.
Jakarta: Rineka Cipta
Durranti,
Alessandro. 2000. Relativity dalam
Journal of Linguistic Anthropology 9 (1-2): 220-222.
Kushartanti, dkk (eds). 2005. Pesona Bahasa:
Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Sumarsono. 2008. Sosiolinguistik.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Widhiarso,
Wahyu. 2005. Pengaruh Bahasa Terhadap Pikiran, Kajian Hipotesis Benyamin Whorf
dan Edward Sapir. Jogjakarta.