Rabu, 09 September 2015

Kepunahan dan Relativitas Bahasa



A.      Pendahuluan

Salah satu hakikat bahasa yaitu kedinamisan. Secara umum kita mengenalnya berkembang seiring berjalannya waktu bahasa senantiasa berkembang dan berubah. Bahkan dalam hitungan tahun bahasa mengalami pergeseran,dan pergeseran inilah yang cenderung membawa suatu bahasa ke ambang kepunahan.
Sekitar 6000 bahasa dituturkan di seluruh dunia. Menurut UNESCO, setengah dari bahasa-bahasa tersebut akan punah di akhir abad ini. Orang tua harus berbicara dengan anaknya dalam bahasa yang mereka benar-benar kuasai. Memperingati Hari Bahasa Ibu Internasional, 21 Februari, organisasi untuk suku adat terancam Jerman menyampaikan kekhawatiran akan punahnya bahasa-bahasa di dunia. Menurut seorang pejabat, Sarah Reinke, saat ini sekitar 1.800 dari sedikitnya 6.000 bahasa di dunia terancam kepunahan. Setiap minggu, satu bahasa hilang tidak dituturkan lagi. Juga di Jerman, 13 bahasa minoritas dan dialek yang kini masih dipakai, seperti Yiddish dan Romani, berada dalam ancaman. Kepunahan bahasa, terutama bahasa minoritas, di dunia diakibatkan dengan semakin meningkatnya mobilitas atau pengaruh media, ditambahkan Sarah Reinke. Selain itu, di beberapa negara otoriter, seperti Rusia dan Cina, bahasa-bahasa minoritas ditekan dengan maksud untuk mencabut akar budaya etnis minoritas di negara-negara tersebut. Di Amerika Selatan, proyek-proyek pembangunan raksasa mengubur habitat dan bahasa adat di wilayah.
Sementara di Indonesia, dengan dijadikannya Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, bahasa ini berandil terhadap punahnya bahasa daerah. Di Indonesia terdapat sekitar 700 bahasa daerah, yang sebagaian besar masih aktif dituturkan sampai sekarang. Namun menurut UNESCO, bahasa-bahasa daerah di Indonesia juga dalam bahaya – sekitar 140 bahasa daerah terancam kepunahan.
Melihat kepunahan bahasa ibu atau bahasa daerah yang berangsur-angsur terjadi di dunia ini, khususnya di Indonesia menjadi satu tolok ukur bagi pemerhati bahasa untuk meninjau hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya hal demikian. Maka langkah awal untuk mengetahui terjadinya kepunahan bahasa karena adanya faktor-faktor internal maupun eksternal perlu dilakukan suatu penelitian.

A.      Pembahasan
Untuk memahami perihal kepunahan bahasa, alangkah baiknya jika terlebih dahulu dicermati kembali konsep pergeseran bahasa. Dalam konsep pergeseran bahasa ini dikatakan bahwa bahasa mengalami pergeseran jika pemakaian antara bahasa pertama dan bahasa kedua tidak seimbang. Ketika keseimbangan ini tidak ada lagi, dua kemungkinan yang akan muncul. Kemungkinan yang pertama adalah bahasa pertama tetap bertahan, kedua bahasa pertama tersingkirkan oleh bahasa kedua. Dari kedua kemungkinan ini, yang mengarah kepada kepunahan adalah kemungkinan kedua.
Saat dilahirkan ke dunia ini, manusia mulai belajar bahasa. Sedikit demi sedikit, bahasa yang dipelajari olehnya sejak kecil semakin dikuasainya sehingga menjadi bahasa pertamanya. Dengan bahasa yang dikuasai olehnya itu, ia berinteraksi dengan masyarakat di sekitarnya.
Setelah beranjak remaja, mereka sudah menguasai dua atau lebih bahasa. Semua itu ia peroleh ketika berinteraksi dengan masyarakat atau ketika belajar di sekolah. Hal ini menyebabkan ia menjadi multibahasawan. Ketika menjadi multibahasawan,  mereka dihadapkan pada pertanyaan, yaitu manakah di antara bahasa yang ia kuasai merupakan bahasa yang paling penting? Di saat-saat seperti inilah terjadi proses pergeseran bahasa, yaitu menempatkan sebuah bahasa menjadi lebih penting di antara bahasa-bahasa yang ia kuasai.
Apabila kasusnya seperti ini dikatakanlah bahasa pertama yang pada mulanya dipakai oleh suatu guyup tutur (komunitas pemakai bahasa) menjadi punah karena guyup tutur tersebut lebih mengutakan bahasa kedua (secara total meniggalkan bahasa pertamanya).

A.      Pengertian

Berdasarkan penjelasan di atas muncullah pertanyaan ini. Apa yang di maksud dengan kepunahan bahasa? Berkaitan dengan hal ini, pendapat yang dikemukakan oleh Dorian (1978)  dalam Sumarsono dan Partana, (2008:284) dapat menjadi bahan acuan kita. Dorian mengemukakan bahwa “kepunahan bahasa hanya dapat dipakai bagi pergeseran total di dalam satu guyup saja dan pergeseran itu dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain, bukan dari ragam bahasa yang satu ke ragam bahasa yang lain dalam satu bahasa.” Artinya, bahasa yang punah itu tidak tahan terhadap persaingan bahasa yang lain bukan karena persaingan prestise antar ragam bahasa dalam satu bahasa. Berdasarkan penjelasan Dorian ini, dapat disimpulkan bahwa kepunahan bermakna terjadinya pergeseran total dari satu bahasa ke bahasa yang lain dalam satu guyup tutur.
Mengapa bahasa itu mati atau punah?
Ada beberapa hal bahasa itu mati:
1.      bahasa mati melalui “perubahan”
2.      bahasa tidak pernah dituliskan/dokumen tertulis
3.      tidak memiliki penutur asli dan tidak lagi diteruskan kepada anak-anak
4.      secara bertahap berkembang menjadi bahasa baru
5.      kadang-kadang adalah akibat bencana alam
6.      penyebab paling umum bahasa mati bukanlah kematian penduduk dan pergeseran bahasa. Hal ini terjadi penutur bahasa tidak diteruskan kepada anak-anak mereka. Sebaliknya, anak-anak memperoleh bahasa yang berbeda dari orang tua: dan secara bertahap 'pergeseran' bahasa terjadi di seluruh masyarakat.
7.      para ahli bahasa: hilangnya bahasa adalah kerugian bagi ilmu pengetahuan
8.      dalam banyak kasus, bahasa yang terancam punah menunjukkan kepada kita mungkin adanya 'batas' bahasa.
Upaya revitalisasi untuk menjadi sukses, motivasi utama harus datang dari masyarakat penutur bahasa itu sendiri. Ahli bahasa juga dapat bekerja dengan penutur untuk datang dengan membawa sistem penulisan jika bahasa yang tidak tertulis, menulis tata bahasa dan deskripsi bahasa, dan akhirnya membantu mempersiapkan bahan ajar untuk sekolah-sekolah.
Transmisi bahasa ke generasi berikutnya adalah kunci untuk melestarikannya, anak-anak adalah fokus dari banyak program revitalisasi.
Istilah relativitas bahasa tekait dengan hubungan bahasa, pikiran, dan budaya, muncul. Relativitas bahasa muncul karena adanya sebuah kenyataan atau fakta bahwa setiap bahasa memiliki caranya masing-masing dalam mendeskripsikan dunia. Bahasa telah menciptakan sebuah sistemnya sendiri untuk mendeskripsikan dunia. Sistem tersebut tidak dapat diukur atau tidak dapat disamakan satu sama lain. Seseorang akan menarik sebuah kesimpulam terhadap dunia di luar dirinya berdasarkan bahasa yang dimilikinya. Ludwig Wittgenstein mengeluarkan sebuah kalimat yang menarik tentang bahasa sebagai media ekspresi sebuah realitas, “the limits of my language mean the limits of my world” (dalam Warren, Joshua, 2007).
Pemikiran-pemikiran Boaz yang berkaitan dengan relativitas bahasa, dikembangkan oleh Sapir-Whorf yang secara garis besar menyatakan bahwa bahasa merupakan sebuah fenomena yang bersifat relatif antara bahasa satu dengan yang lain. Sifat relatif tersebut disebabkan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi yaitu budaya. Berkaitan dengan konsep relativitas bahasa tersebut muncullah Hipotesis Sapir-Whorf . Dasar teorinya menyatakan bahwa bahasa itu merupakan aktivitas rohani, proses kejiwaan yang berulang-ulang untuk membentuk gagasan/pikiran melalui bunyi yang berartikulasi. Setiap bahasa memiliki keistimewaan yaitu lambang jiwa, tabiat dan sifat bangsa. Akibatnya timbul keragaman bahasa dan perbedaannya. Selanjutnya prinsip dasarnya menyebutkan bahwa bahasa milik suatu bangsa menentukan pandangannya terhadap dunia dan lingkungan sekitarnya melalui kategori gramatikal dan klasifikasi semantik yang mungkin dalam bahasa yang diwarisinya bersama kebudayaannya.
Kajian mengenai relativitas budaya inilah yang memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan analisis komparatif bahasa. Analisis komparatif terhadap bahasa satu dengan yang lain telah membuktikan bahwa bahasa satu dengan yang lain memiliki konsep dan sistem yang berbeda.
Konsep Saphir-Whorf Saphir-Worf mengatakan bahwa tidak ada bahasa yang memiliki kesamaan yang sangat dominan dalam mengungkapkan sebuah realitas yang sama. Hal ini dikarenakan terdapat hubungan antara bahasa dan pikiran, atau lebih tajam lagi dapat dikatakan bahwa bahasa mempengaruhi pikiran. Sapir-Whorf mengutarakan dua hipotesis mengenai keterkaitan antara bahasa dan pikiran:
1.        hipotesis relativitas bahasa yang menyatakan bahwa perbedaan struktur bahasa secara umum paralel dengan perbedaan kognitif non-bahasa. Perbedaan bahasa menyebabkan perbedaan pikiran orang yang menggunakan bahasa tersebut.
2.        hipotetsis determinisme bahasa yang menyatakan bahwa struktur bahasa mempengaruhi persepsi manusia terhadap realitas. Pengaruh bahasa terhadap pikiran dapat terjadi melalui sebuah kebiasaan dan melalui aspek formal bahasa, misalnya tata bahasa dan leksikon. Sebuah contoh ilustrasi yang sangat terkenal yatitu kata salju. Whorf menyatakan bahwa semua bahasa memiliki konsep untuk menggambarkan konsep salju, baik salju yang sedang turun, salju yang ada dipermukaan tanah, maupun salju yang meleleh. Berbeda dengan bangas Eskimo yang memiliki leksikon yang berbeda untuk mengungkapkan salju yang sedang turun, salju yang ada di permukaan tanah, dan salju yang sedang meleleh. Tidak ada dua bahasa yang cukup sama untuk mewakili realitas yang sama. Dunia tempat tinggal masyarakat dinilai oleh Whorf sebagai dunia yang sama namun memiliki perbedaan karakteristik. Perbedaan tersebut menjadi penyebab perbedaan dalam menangkap dan mengekspresikan sebuah realitas. Contoh lain yaitu tentang konsep warna. Lucy, seorang antropolog menulis mengenai perbedaan bahasa berkaitan dengan aktivitas perseptual. Dua individu yang memiliki kosa kata tentang warna dasar (basic color) yang berbeda, akan mengurutkan warna sekunder dengan cara yang berbeda. Relativitas bahasa melihat bahwa kategori yang ada dalam bahasa menjadi dasar dari aktivitas mental, seperti kategorisasi, ingatan, dan pengambilan keputusan.

B.       Faktor yang Mengakibatkan Kepunahan Bahasa
Bagaimanakah sebuah bahasa dikatakan punah? Apakah ketika sebuah bahasa yang tidak dipakai lagi di seluruh dunia disebut sebagai bahasa yang telah punah ataukah sebuah bahasa yang tidak dipakai lagi dalam sebuah guyup tutur, tetapi masih dipakai dalam guyup tutur juga disebut dengan bahasa yang punah.
Selanjutnya, Kloss (1984) dalam Sumarsono (2008:286) menyebutkan bahwa ada tiga tipe utama kepunahan bahasa, yaitu;
1.      Kepunahan bahasa tanpa terjadinya pergeseran bahasa (guyup tuturnya lenyap) seperti terjadinya bencana alam yang melenyapkan suatu komunitas pemakai bahasa dan lain-lain.
2.      Kepunahan bahasa karena pergeseran bahasa (guyup tutur tidak berada dalam “wilayah tutur yang kompak”, atau bahasa itu menyerah kepada “pertentangan intrinsik prasarana budaya modern yang berdasarkan teknologi”.
3.      Kepunahan bahasa nominal melalui metamorfosis. (misalnya suatu bahasa turun derajat menjadi berstatus dialeg ketika guyup tuturnya tidak lagi menulis dalam bahasa itu dan mulai memakai bahasa lain).
Kushartanti, dkk (eds), (2005:186). Dari tiga tipe kepunahan bahasa yang dikemukakan Kloss di atas, kasus yang paling banyak terjadi adalah tipe yang ke-2. Tentunya hal ini disebabkan oleh berbagai faktor. Sebut saja misalnya masyarakat Aborijin Australia. Akibat datangnya penduduk baru dari Eropa, beberapa bahasa Aborijin Australia punah. Selain itu, banyak bahasa masyarakat Aborijin punah secara paksa, yaitu dengan adanya tekanan dari pihak pendatang Eropa. Generasi tuanya ditekan untuk memaksa anak-anak mereka menggunakan bahasa Inggris. Dengan kata lain, punahnya beberapa bahasa masyarakat Aborijin disebabkan oleh tidak seimbangnya kontak bahasa, yaitu dominasi kelompok berkuasa yang memberikan tekanan yang sangat kuat terhadap bahasa penduduk yang dikuasainya. Sebagian penduduk Maori, misalnya, karena dijajah oleh orang Eropa, mengganti bahasa Ibunya dengan bahasa Inggris, sementara yang masih mempertahankan bahasa Mauri pun fasih berbahasa Inggris.
Pakar budaya dan bahasa Universitas Negeri Makassar (UNM), Prof. Dr. Zainuddin Taha, mengatakan bahwa pada abad ini diperkirakan 50 persen dari 5.000 bahasa di dunia terancam punah, atau setiap dua pekan hilang satu bahasa. Selanjutnya, dikatakan olehnya bahwa Kepunahan tersebut bukan karena bahasa itu hilang atau lenyap dari lingkungan peradaban, melainkan para penuturnya meninggalkannya dan bergeser ke penggunaan bahasa lain yang dianggap lebih menguntungkan dari segi ekonomi, sosial, politik atau psikologis. Di Indonesia sendiri, katanya, keadaan pergeseran bahasa yang mengarah kepada kepunahan ini semakin nyata dalam kehidupan sehari-hari terutama di kalangan keluarga yang tinggal di perkotaan. Pergeseran ini tidak hanya dialami bahasa-bahasa daerah yang jumlah penuturnya sudah sangat kurang (bahasa minor), tetapi juga pada bahasa yang jumlah penuturnya tergolong besar (bahasa mayor) seperti bahasa Jawa, Bali, Banjar, dan Lampung, termasuk bahasa-bahasa daerah di Sulawesi Selatan seperti Bugis, Makassar, Toraja, dan Massenrempulu.
Bagaimanakah menghambat kepunahan ini? Ada berbagai hal yang dapat dilakukan untuk mencegah ataupun menghambat kepunahan pada bahasa, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut;
1.      Pembiasaan oleh orang tua kepada anak untuk berkomunikasi memakai bahasa daerah, seperti memekai bahasa Madura dalam lingkungan keluarga.
2.      Penanaman kesadaran terhadap generasi penerus terhadap pentingnya melestarikan bahasa, baik melalui keluarga, sekolah, ataupun peran anggota masyarakat yang peduli terhadap pelestarian bahasa.
3.       Menjadikan bahasa daerah sebagai mata pelajaran wajib di berbagai jenjang pendidikan. Bahkan bila diperlukan, mata pelajaran bahasa daerah disama ratakan dengan mata pelajaran yang lain, baik dari alokasi waktu yang digunakan, ataupun dari teknik ujiannya.
4.      Membentuk jurusan atau jika memungkinkan fakultas di perguruan tinggi yang khusus membidangi bahasa daerah. Lulusan-lulusan dari jurusan ini akan diterjunkan ke sekolah, media massa baik cetak maupun elektronik yang memiliki program atau jam tayang yang menggunakan bahasa daerah sebagai perantara dan tentunya diimbangi dengan insentif yang layak.


C.      Simpulan

Kepunahan bahasa merupakan pergeseran total di dalam satu guyup saja dan pergeseran itu dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain, bukan dari ragam bahasa yang satu ke ragam bahasa yang lain dalam satu bahasa, artinya bahasa pertama yang pada mulanya dipakai oleh suatu guyup tutur (komunitas pemakai bahasa) menjadi punah karena guyup tutur tersebut lebih mengutakan bahasa kedua (secara total meniggalkan bahasa pertamanya), atau karna lenyapnya komunitas pemakai bahasa yang terjadi karna adanya bencana alam dan semacamnya.
Namun terlepas dari itu semua, terdapat pula upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk menghambat dan mencegah terjadinya kepunahan bahasa melalui penanaman kesadaran terhadap pelestarian bahasa, memasukkan mata pelajaran bahasa daerah di setiap jenjang pendidikan, dan sebagainya. Dengan begitu, maka terjadinya kepunahan bahasa dapat dihindari.







Daftar Pustaka:


Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta

Durranti, Alessandro. 2000. Relativity dalam Journal of Linguistic Anthropology 9 (1-2): 220-222.
Kushartanti, dkk (eds). 2005. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami   Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Sumarsono. 2008. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Widhiarso, Wahyu. 2005. Pengaruh Bahasa Terhadap Pikiran, Kajian Hipotesis Benyamin Whorf dan Edward Sapir. Jogjakarta.
http://www.gatra.com/2007-06-01/artikel

Tugas Presentasi MK Teori-Teori Linguistik 2/ Dosen: Prof. Dr. Lukman, M.S___ UNHAS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar