Teori-Teori Linguistik /Rita Tanduk/Program Doktor Ilmu Linguistik Unhas
1. Hubungan
‘langue’ dan ‘parole’
a. Hubungan pengertian antara langue dan parole sebagaimana diteorikan oleh Ferdinand de Saussure dalam
bukunya yang berjudul Cours de Linguistique Generale (Terjemahan bahasa Inggris oleh Wade
Waskin Course in General Linguistics), dijelaskan sebagai berikut:
Istilah langue lebih mengacu pada sistem
bahasa, sedangkan parole yakni kegiatan ujaran. Langue adalah totalitas dari
kumpulan fakta satu bahasa yang ada pada setiap orang (bersifat esensial). Langue terdapat pada benak orang atau sesuatu
yang berkadar individual, tapi juga sosial universal dan bukan hanya
abstraksi-abstraksi saja. Misalnya, Satu
masyarakat bahasa secara konvensional dan manasuka menyetujui satu totalitas
aturan dalam berbahasa dan setiap anggota masyarakat tersebut mengerti
totalitas ini, karena dia mempunyai langue yang sama. Artinya sebagai orang
Indonesia maka kita mempunyai langue bahasa Indonesia, dan jika kita
mempelajari bahasa Inggris maka langue kita bertambah, yaitu langue bahasa Inggris.
Disebutkan
langue itu berkadar sosial universal,
sebagai contoh kita perhatikan kata kerja to
be yang mempunyai bentukan sebagai berikut;
I am writing a
latter now
She is writing
a latter now
They are
writing many latters now
Pada
contoh di atas dapat disimpulkan,
1.
Kata
I menghendaki am, she is, they are
2.
Kegiatan
yang sedang berlangsung dalam bahasa Inggris dinyatakan dengan to be + kata kerja + ing
3.
Kata
latter kalau didahului determiner a tidak
memakai –s sedangkan bila didahului dengan many,
latter menjadi latters.
Berdasarkan pernyataan di
atas pemerian langue dari bahasa
Inggris. Setiap penutur akan mengikuti langue
ini agar ujarannya bisa dimengerti oleh orang lain. Secara kasar rumus langue
satu masyarakat bahasa adalah;
Langue
= tata bahasa + kosakata + sistem pengucaapan.
Pada rumus di atas hanya abstrak,
yang merupakan konsep yang mendasari ucapan dalam kegiatan sehari-hari, yaitu yang mendasari parole.
Parole adalah ujaran seseorang, yaitu apa yang diucapkan dan apa
yang didengar oleh pihak penanggap ujaran. Parole
sifatnya pribadi, dinamis, sosial, terjadi pada waktu, tempat dan suasana
tertentu. Parole lebih mengacu pada
bunyi, atau ujaran yang dihasilkan oleh seseorang sedangkan langue bersifat abstrak, atau dengan
kata lain langue bersifat esensial
sedangkan parole bersifat
aksidental. Parole inilah sebagai aturan
yang mendasari langue.
Parole ‘tuturan’ adalah bahasa sebagaimana dipakai secara konkret:
‘logat’, ‘ucapan’, perkataan’. Parole merupakan objek linguistik
konkret yang memiliki ciri pembeda dengan langue.
Langue adalah objek yang sedikit lebih abstrak.
Dikotomi
antara langue dan parole memiliki hubungan yang cukup erat dalam membangun dan
menguasai suatu bahasa. Misalnya, anda menguasai bahasa Indonesia tetapi tanpa
keahlian khusus anda tidak dapat menerangkan tata bahasa Indonesia. Dengan perkataan
lain, apa yang anda kuasai (yaitu bahasa Indonesai sebagai langue). Sedangkan contoh lain, secara
intuitif apakah suatu contoh parole benar atau tidak benar, misalnya seorang
mengatakan *kucing itu mengejar besar
tikus. Dari contoh tersebut secara serta merta kita tahu bahwa kalimat itu
tidak benar, bukan karena orang itu tidak menguasai bahasa Indonesia, melainkan
mungkin karena alasan lain, seperti salah ucap, atau karena orangnya lelah,
atau ia kurang memperhatikan apa yang dikatakannya. Karena kita lancar dalam
bahasa bersangkutan, kita dapat membedakan yang tepat dan yang tidak tepat,
dari itulah kita dapat menarik kesimpulan tentang langue.
b. Hubungan
pembeda ‘competence’ dan ‘performance’ dengan langue dan parole
Naom
Chomsky menghubungkan pembedaannya sendiri antara “competence” dan “performance”
sehubungan dengan pembedaan langue dan parole oleh Ferdinand de Saussure.
Pembedaan antara langue dan parole
menurut Ferdinand de Saussure, kira-kira sama dengan istilah “competence”
dan “performance”
menurut Naom Chomsky. Istilah competence
berkenan dengan ‘kemampuan’; dan performance (‘penampilan’) yang berkenan dengan bahasa-bahasa
tertentu). Pembedaan itu dimaksudkan untuk menghilangkan keraguan dalam
penggunaan kata ‘bahasa’.
Pandangan Naom Chomsky tentang istilah competence sama dengan istilah langue oleh Ferdinand de Saussure, yaitu
kemampuan berbahasa dengan pembawaan
yang telah membatin pada setiap manusia. Sejalan dengan itu, istilah performance sama dengan istilah parole yaitu berkenan dengan ujaran-ujaran (ujaran
nyata).
2. Bentuk
dan Substansi
Pandangan
teoretis Ferdinand de Saussure mengenai penegasan beliau dengan mengatakan
bahwa bahasa itu ialah bentuk dan bukan substansi.
Pandangan De Saussure membedakan terlebih
dahulu antara bentuk dan substansi sebagai du sisi: “bentuk” dan “makna” (ungkapan dan isi). Dalam
sisi ungkapan bahasa terdapat sekurang-kurangnya dua tingkat, yakni tingkat bunyi dan tingkat kata. Istilah yang digunakan dalam linguistik adalah bunyi-bunyi
bahasa dideskripsikan dalam fonologi;
bentuk kata dan cara menggabungkannya dalam frase, klausa, dan kalimat dalam tata bahasa, sedangkan makna atau arti kata (dalam satuan-satuannya yang membentuknya) dalam semantik. Pendekatan yang lebih modern studi bahasa
biasa disebut sebagai “linguistik struktural”.
Pada hakikatnya tiap-tiap bahasa memiliki
struktur semantisnya sendiri.
Struktur pembendaharaan kata suatu bahasa tentu mencerminkan
perbedaan-perbedaan dan padanan-padanan yang penting dalam dalam kebudayaan
masyarakat yang menggunakan bahasa itu. Atau mungkin ada, dua bahasa yang
perbendaharaan katanya sedikkit pun tidak isomorfis. Sekurang-kurangnya kita
dapat memahami bahwa semua makna suatu bahasa tertentu tidak berlaku atau
berhubungan dengan yang ada di luarnya.
De Saussure mengartikan, substansi makna
(substansi isi) sebagai seluruh kumpulan pikiran dan perasaan yang umum bagi
manusia tergantung pada bahasa-bahasa yang mereka gunakan untuk bicara. Makna
dapat dibentuk dalam bahasa-bahasa tertentu dengan mengaitkan secara
konvensional kelompok bunyi tertentu dengan bagian tertentu dari konsep itu.
Berdasarkan hal itu dapat dibedakan
antara bentuk dan substansi. Bentuk lebih mengacu pada bentuk
pembendaharaan kata (unsur ungkapan), substansi lebih mengacu pada isi sebagai sarana untuk menyatakan
perbedaa-perbedaan antara realisasi berbagai unsur ungkapan bahasa. Hal ini
memberikan pembedaan bahwa bentuk dan substansi berhubungan dengan isi ungkapan
bahasa. Ini yang dikatakan De Saussure bahwa bahasa itu bentuk dan bukan substansi.
lebih jelasnya dapat diperhatikan melalui sebuah contoh,
Misalnya:
Analogi permainan catur. Dapat dikatakan bahwa untuk membuat bauh-buah catur tidak
ada hubunganmya dengan teknik permainan. Buah catur dapat saj dibuat dari bahasn apa
saja (kayu, plastik, gading, dsb). Asalkan sifat fisik bahan itu dapat
mempertahankan perbedaan-perbedaan pada bentuk antara buah-buah catur dalam
kondisi yang biasanya diperlukan dalam malakukan permainnan itu. Yang penting
adalah bahwa setiap buah catur hendaknya dapat diidentifikasikan sebagai buah
catur yang menurut peraturan permainan bergerak dengan cara tertentu. Jika
salah satu hilang atau rusak, dapat diganti dengan benda yang lain (misalnya:
mata uang atau sebatang kapur), dan benda pengganti itu akan diberlakukan
sebagai buah catur dan fungsinya sesuai dengan fungsi buah catur yang
digantikannya.
Hubungan
antara bentuk dan fungsinya dalam permainan bersifat arbitrer. Asal
kesepakatan-kesepakatan penafsiran diterima oleh para peserta sehingga
permainan dapat dilakukan sama baiknya, apa pun bentuk buah-buah catur yang
digunakan.
3. Hubungan-hubungan paradigmatis dan sintagmatis itu sebagaimana
dipaparkan oleh Robins. Berkaitan dengan pandangan teoretis Ferdinand de
Saussure yang tidak menggunakan istilah hubungan paradigmatisi, tetapi beliau menggunakan istilah
hubungan-hubungan asosiatif agar bisa menjangkau pelbagai macam hubungan yang
sifatnya nonparadigmatis!
Hubungan paradigmatis dan sintagmatis
menurut Robins, bahwa merupakan semua
satuan bahasa dihubungkan secara paradigmatis dan sintagmatis dengan
satuan-satuan yang lebih setingkat (unsur-ungkapan dengan unsur-ungkapan; kata
dengan kata, dsb). Jadi konteks
sebuah satuan bahasa dapat dapat dinyatakan dengan jelas menurut hubungannya
yang sintagmatis; dan secara paradigmatis akan tergantung pada tafsiran yang
eksplisit atau implisit yang berkaitan dengan “keterterimaan” (yang berkaitan dengan
pembedaan gramatikal dan makna). Atau tiap-tiap satuan bahasa mempunyai
distribusi yang khas, dan jika dua atau lebih satuan terdapat pada wilayah
konteks yang sama maka dapat dikatakan sepadan distribusinya. Hal ini memandang
hubungan situasi ujaran-ujaran yang sebenarnya dibuat atau memandang
keterikatan yang ada antara kalimat-kalimat yang berbeda dalam wacana yang
berhubungan, dan sebagainya.
Paradigmatis lebih mengacu pada hubungan antara
unsur-unsur bahasa dalam tataran tertentu dengan unsur-unsur lain di luar
tataran itu yang dapat dipertukarkan, misalnya: kami bermain bola (kami dengan orang itu, saya, dsb; dan bermain
dengan menyepak, mengambil dsb).
Dengan adanya tautan sintagmatik dan paradigmatik kita bisa membuat sejumlah
kalimat yang tek terhinga. Dengan keduaa tautan tersebut maka bahasa menjadi
suatu yang sangat produktif. Sejalan dengan maksud itu, Sintagmatik pun mengacu pada hubungan linear antara unsur-unsur
bahasa dalam tataran tertentu. Jadi hubungan paradigmatis dan sintagmatis
merupakan satu rangkaian tanda-tanda yang satu sama lainnya mempunyai perbedaan
dan setiap perbedaan itu memberikan arti dan makna keseluruhan. Rangkaian satu
tanda dengan yang lain membentuk tautan sintagmatik. Satuan-satuan bahasa tidak
memiliki kesahihan yang tak tergantung pada hubungan-hubungan paradgmatis dan
sintagmatisnya dengan satuan-satuan lain.
Hal inilah yang berkaitan dengan apa yang
dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure, bahwa hubungan paradigmatik dan
sintagmatik merupakan hubungan yang asosiatif.
Asosiatif yang dimaksudkan adalah bahwa tiap-tiap bahasa, pada waktu tertentu
merupakan sistem hubungan yang padu. Dengan arti yang lain bahwa tiap-tiap
satuan bahasa mempunyai tempat tertentu dalam sistem hubungan. Jadi setiap
bahasa dipandang sebagai sistem hubunngan (lebih tepatnya, seperangkat sistem
yang saling berhubungan), antara unsur-unsurnya, bunyi-bunyi, kata-kata, dsb.
Mantap saudari...
BalasHapusMantap saudari...
BalasHapus