Rabu, 09 September 2015

Teori-Teori Linguistik


Teori-Teori Linguistik /Rita Tanduk/Program Doktor Ilmu Linguistik Unhas       


1.    Hubungan ‘langue’ dan ‘parole’

a.    Hubungan pengertian antara langue dan parole sebagaimana diteorikan oleh Ferdinand de Saussure dalam bukunya yang berjudul Cours de Linguistique Generale  (Terjemahan bahasa Inggris oleh Wade Waskin Course in General Linguistics), dijelaskan sebagai berikut:
Istilah langue lebih mengacu pada sistem bahasa, sedangkan parole yakni kegiatan ujaran.  Langue adalah totalitas dari kumpulan fakta satu bahasa yang ada pada setiap orang (bersifat esensial). Langue terdapat pada benak orang atau sesuatu yang berkadar individual, tapi juga sosial universal dan bukan hanya abstraksi-abstraksi saja. Misalnya, Satu masyarakat bahasa secara konvensional dan manasuka menyetujui satu totalitas aturan dalam berbahasa dan setiap anggota masyarakat tersebut mengerti totalitas ini, karena dia mempunyai langue yang sama. Artinya sebagai orang Indonesia maka kita mempunyai langue bahasa Indonesia, dan jika kita mempelajari bahasa Inggris maka langue kita bertambah, yaitu langue bahasa  Inggris.
Disebutkan langue itu berkadar sosial universal, sebagai contoh kita perhatikan kata kerja  to be yang mempunyai bentukan sebagai berikut;
I am writing a latter now
She is writing a latter now
They are writing many latters now

Pada contoh di atas dapat disimpulkan,
1.       Kata I menghendaki am, she is, they are
2.       Kegiatan yang sedang berlangsung dalam bahasa Inggris dinyatakan dengan to be + kata kerja + ing
3.       Kata latter kalau didahului determiner a tidak memakai –s sedangkan bila didahului dengan many, latter menjadi latters.

Berdasarkan pernyataan di atas pemerian langue dari bahasa Inggris. Setiap penutur akan mengikuti langue ini agar ujarannya bisa dimengerti oleh orang lain. Secara kasar rumus langue satu masyarakat bahasa adalah;
Langue = tata bahasa + kosakata + sistem pengucaapan.
Pada rumus di atas hanya abstrak, yang merupakan konsep yang mendasari ucapan dalam kegiatan sehari-hari, yaitu yang mendasari parole. 

Parole adalah ujaran seseorang, yaitu apa yang diucapkan dan apa yang didengar oleh pihak penanggap ujaran. Parole sifatnya pribadi, dinamis, sosial, terjadi pada waktu, tempat dan suasana tertentu. Parole lebih mengacu pada bunyi, atau ujaran yang dihasilkan oleh seseorang sedangkan langue bersifat abstrak, atau dengan kata lain langue bersifat esensial sedangkan parole bersifat aksidental.  Parole inilah sebagai aturan yang mendasari langue.
Parole ‘tuturan’ adalah bahasa sebagaimana dipakai secara konkret: ‘logat’, ‘ucapan’, perkataan’.  Parole merupakan objek linguistik konkret yang memiliki ciri pembeda dengan langue. Langue adalah objek yang sedikit lebih abstrak.
Dikotomi antara langue dan parole memiliki hubungan yang cukup erat dalam membangun dan menguasai suatu bahasa.  Misalnya, anda menguasai bahasa Indonesia tetapi tanpa keahlian khusus anda tidak dapat menerangkan tata bahasa Indonesia. Dengan perkataan lain, apa yang anda kuasai (yaitu bahasa Indonesai sebagai langue). Sedangkan contoh lain, secara intuitif apakah suatu contoh parole benar atau tidak benar, misalnya seorang mengatakan *kucing itu mengejar besar tikus. Dari contoh tersebut secara serta merta kita tahu bahwa kalimat itu tidak benar, bukan karena orang itu tidak menguasai bahasa Indonesia, melainkan mungkin karena alasan lain, seperti salah ucap, atau karena orangnya lelah, atau ia kurang memperhatikan apa yang dikatakannya. Karena kita lancar dalam bahasa bersangkutan, kita dapat membedakan yang tepat dan yang tidak tepat, dari itulah kita dapat menarik kesimpulan tentang langue.   
           
b.    Hubungan pembeda ‘competence’ dan ‘performance’ dengan langue dan parole

Naom Chomsky menghubungkan pembedaannya sendiri antara “competence” dan “performance” sehubungan dengan pembedaan langue dan parole oleh Ferdinand de Saussure.

Pembedaan antara langue dan parole menurut Ferdinand de Saussure, kira-kira sama dengan istilah “competence” dan “performance” menurut Naom Chomsky. Istilah competence berkenan dengan ‘kemampuan’; dan performance (‘penampilan’) yang berkenan dengan bahasa-bahasa tertentu). Pembedaan itu dimaksudkan untuk menghilangkan keraguan dalam penggunaan kata ‘bahasa’.
Pandangan Naom Chomsky tentang istilah competence sama dengan istilah langue oleh Ferdinand de Saussure, yaitu kemampuan berbahasa dengan pembawaan yang telah membatin pada setiap manusia. Sejalan dengan itu, istilah performance sama dengan istilah parole  yaitu berkenan dengan ujaran-ujaran (ujaran nyata).  

  

2.    Bentuk dan Substansi
Pandangan teoretis Ferdinand de Saussure mengenai penegasan beliau dengan mengatakan bahwa bahasa itu ialah bentuk dan bukan substansi.

Pandangan De Saussure membedakan terlebih dahulu antara bentuk dan substansi sebagai du sisi:  “bentuk” dan “makna” (ungkapan dan isi). Dalam sisi ungkapan bahasa terdapat sekurang-kurangnya dua tingkat, yakni tingkat bunyi dan tingkat kata. Istilah yang digunakan dalam linguistik adalah bunyi-bunyi bahasa dideskripsikan dalam fonologi; bentuk kata dan cara menggabungkannya dalam frase, klausa, dan kalimat dalam tata bahasa, sedangkan makna atau arti kata (dalam satuan-satuannya yang membentuknya) dalam semantik.  Pendekatan yang lebih modern studi bahasa biasa disebut sebagai “linguistik struktural”. 
Pada hakikatnya tiap-tiap bahasa memiliki struktur semantisnya sendiri. Struktur pembendaharaan kata suatu bahasa tentu mencerminkan perbedaan-perbedaan dan padanan-padanan yang penting dalam dalam kebudayaan masyarakat yang menggunakan bahasa itu. Atau mungkin ada, dua bahasa yang perbendaharaan katanya sedikkit pun tidak isomorfis. Sekurang-kurangnya kita dapat memahami bahwa semua makna suatu bahasa tertentu tidak berlaku atau berhubungan dengan yang ada di luarnya. 
De Saussure mengartikan, substansi makna (substansi isi) sebagai seluruh kumpulan pikiran dan perasaan yang umum bagi manusia tergantung pada bahasa-bahasa yang mereka gunakan untuk bicara. Makna dapat dibentuk dalam bahasa-bahasa tertentu dengan mengaitkan secara konvensional kelompok bunyi tertentu dengan bagian tertentu dari konsep itu.
Berdasarkan hal itu dapat dibedakan antara bentuk dan substansi.  Bentuk lebih mengacu pada bentuk pembendaharaan kata (unsur ungkapan), substansi lebih mengacu pada isi sebagai sarana untuk menyatakan perbedaa-perbedaan antara realisasi berbagai unsur ungkapan bahasa. Hal ini memberikan pembedaan bahwa bentuk dan substansi berhubungan dengan isi ungkapan bahasa. Ini yang dikatakan De Saussure bahwa bahasa itu bentuk dan bukan substansi. lebih jelasnya dapat diperhatikan melalui sebuah contoh,
Misalnya: Analogi permainan catur. Dapat dikatakan bahwa untuk membuat bauh-buah catur tidak ada hubunganmya dengan teknik permainan.  Buah catur dapat saj dibuat dari bahasn apa saja (kayu, plastik, gading, dsb). Asalkan sifat fisik bahan itu dapat mempertahankan perbedaan-perbedaan pada bentuk antara buah-buah catur dalam kondisi yang biasanya diperlukan dalam malakukan permainnan itu. Yang penting adalah bahwa setiap buah catur hendaknya dapat diidentifikasikan sebagai buah catur yang menurut peraturan permainan bergerak dengan cara tertentu. Jika salah satu hilang atau rusak, dapat diganti dengan benda yang lain (misalnya: mata uang atau sebatang kapur), dan benda pengganti itu akan diberlakukan sebagai buah catur dan fungsinya sesuai dengan fungsi buah catur yang digantikannya.
Hubungan antara bentuk dan fungsinya dalam permainan bersifat arbitrer. Asal kesepakatan-kesepakatan penafsiran diterima oleh para peserta sehingga permainan dapat dilakukan sama baiknya, apa pun bentuk buah-buah catur yang digunakan.


3.    Hubungan-hubungan paradigmatis  dan sintagmatis itu sebagaimana dipaparkan oleh Robins. Berkaitan dengan pandangan teoretis Ferdinand de Saussure yang tidak menggunakan istilah hubungan paradigmatisi, tetapi beliau menggunakan istilah hubungan-hubungan asosiatif agar bisa menjangkau pelbagai macam hubungan yang sifatnya nonparadigmatis!

Hubungan paradigmatis dan sintagmatis menurut Robins,  bahwa merupakan semua satuan bahasa dihubungkan secara paradigmatis dan sintagmatis dengan satuan-satuan yang lebih setingkat (unsur-ungkapan dengan unsur-ungkapan; kata dengan kata, dsb). Jadi konteks sebuah satuan bahasa dapat dapat dinyatakan dengan jelas menurut hubungannya yang sintagmatis; dan secara paradigmatis akan tergantung pada tafsiran yang eksplisit atau implisit yang berkaitan dengan  “keterterimaan” (yang berkaitan dengan pembedaan gramatikal dan makna).  Atau tiap-tiap satuan bahasa mempunyai distribusi yang khas, dan jika dua atau lebih satuan terdapat pada wilayah konteks yang sama maka dapat dikatakan sepadan distribusinya. Hal ini memandang hubungan situasi ujaran-ujaran yang sebenarnya dibuat atau memandang keterikatan yang ada antara kalimat-kalimat yang berbeda dalam wacana yang berhubungan, dan sebagainya.
Paradigmatis lebih mengacu pada hubungan antara unsur-unsur bahasa dalam tataran tertentu dengan unsur-unsur lain di luar tataran itu yang dapat dipertukarkan, misalnya: kami bermain bola (kami dengan orang itu, saya, dsb; dan bermain dengan menyepak, mengambil dsb). Dengan adanya tautan sintagmatik dan paradigmatik kita bisa membuat sejumlah kalimat yang tek terhinga. Dengan keduaa tautan tersebut maka bahasa menjadi suatu yang sangat produktif. Sejalan dengan maksud itu, Sintagmatik pun mengacu pada hubungan linear antara unsur-unsur bahasa dalam tataran tertentu. Jadi hubungan paradigmatis dan sintagmatis merupakan satu rangkaian tanda-tanda yang satu sama lainnya mempunyai perbedaan dan setiap perbedaan itu memberikan arti dan makna keseluruhan. Rangkaian satu tanda dengan yang lain membentuk tautan sintagmatik. Satuan-satuan bahasa tidak memiliki kesahihan yang tak tergantung pada hubungan-hubungan paradgmatis dan sintagmatisnya dengan satuan-satuan lain.
 Hal inilah yang berkaitan dengan apa yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure, bahwa hubungan paradigmatik dan sintagmatik merupakan hubungan yang asosiatif. Asosiatif yang dimaksudkan adalah bahwa tiap-tiap bahasa, pada waktu tertentu merupakan sistem hubungan yang padu. Dengan arti yang lain bahwa tiap-tiap satuan bahasa mempunyai tempat tertentu dalam sistem hubungan. Jadi setiap bahasa dipandang sebagai sistem hubunngan (lebih tepatnya, seperangkat sistem yang saling berhubungan), antara unsur-unsurnya, bunyi-bunyi, kata-kata, dsb.  









2 komentar: